Gila!!! Membaca
kumpulan cerpen terbitan Surah dari
Abdullah Alawi dan A. Zakky Zulhazmi dalam bingkisan buku Gula Kawung dan Pohon
Avokad saya sendiri EMOSI. Pertama
lama tidak mendapatkan kabar dari salah satu penulisnya (A. Zakky Zulhazmi)
sudah begitu emosi karena Bung satu ini adalah salah satu kawan nongkrongku
ketika menjelang senja di kampus setiap kali hari rabu. teringat emosi saya
ketika lagi asik diskusi di kelompokku yang selalu mengulas tentang kebudayaan
dan hal ilmiah lainnya, bung satu ini enak cuek diskusi sendiri dengan kelompok
Senja-Kala(itu). Tapi emosi yang saya luapkan bukan amarah tapi kebahagiaan
karena fenomena seperti itu sangat romantis antara Kebudayaan dan Sastra duduk
beriringan tapi beda sudut ketika di pandang dari jarak sekian meter tempat
keberadaannya antara garis timur dan garis barat. Kedua emosiku membuncah ketika ada kabar lagi Buku barunya,
Brengsek!!! Tapi aku senang ternyata Bung satu ini jalannya masih seirama
dahulu tetap berada di garis Sastranya. Dan sebelum mengulas cerpen-cerpennya satu
persatu pertama-tama saya ucapka Selamat Bung dan MERDEKA!!!
Rabu, 04 Februari 2015
Senin, 01 Desember 2014
Besar dan Kecil
Sumber Gambar: Google |
Ef Suma
Kecil terinjak yang besar , itu wajar
Tapi bukan fungsinya
Besar menginjak yang kecil
Tapi bukan tugasnya
Kekuatan adalah kuasa
Tapi bukan tanpa kelemahan
Kekuasaan adalah dua permainan
Membunuh atau di bunuh
Kehancuran adalah nasib
Kalau tidak pandai bersih-bersih
Kalau tidak pandai bagi-bagi
Dan kalau…kalau…kalau…
Tidak berpihak
Salam
Jakarta 07 Februari 2014
Pahit Kopiku
Sumber Gambar: Google |
Pahit kopiku sayang
Karena aku menukan aroma manis yang kelak kita nikmati
Dengan kehangatan waktu yang selalu ditunggu untuk dinikmati
Kita berdua akan manis ketika pahit sudah biasa dinikmati
Engkau mesti tahu bagaimana kopi menghabiskan waktuku?
Menyulam segala kehidupan yang kelak pasti indah
Engkau tahu bagaimana kopi mempertemukan kita?
Dalam satu niat untuk menjalani kebahagiaan cinta
Engkau tahu bagaimana kopi mengenalkan kita pada kehidupan yang luas?
Karena selalu ada pertemuan dan pertemuan
Engkau tahu kopiku pahit sayang?
Bukan lantara menolak manis
Karena menurutku kita akan manemukan manis ketika pahit pernah kita nikmati
Jangan bosan sayang kalau aku terus menjawab dengan bahasa kopi
Kalau boleh aku mengibaratkan cinta dengan gelas kopi
Antara aku dan kamu telah menjadi kopi, pasti kamu tolak
Tapi aku akan memaksamu agar kita menjadi kopi
untuk keindahan pertemuan yang harmonis
untuk hilangnya perselisihan
untuk manisnya persahabatan karena kebersamaan ngumpul sambil ngopi
untuk perubahan karena merencanakannya menghirup aroma kopi
untuk cinta karena keharmonisan antara pahit dan manis bertemu
apa masih tidak mau hubungan kita disamakan dengan kopi?
pasti tidak!
kamu akan berusaha menyamakan dengan taman dan bunga-bunganya
atau dengan keromantisan Romeo dan Juliet
atau kamu akan memaksakan hubungan kita seperti sang pangeran dan putrinya
apa tidak cukup dengan kopi saja?
toh sama-sama menghasilkan keindahan
bahkan menurutku itu sangat romantis
dari apa yang pernah kamu ibaratan
bahkan lebih terdengar perjuangan
engkau tahu rapat perubahan anak-anak muda pasti ada gelas kopi?
yang saling berdenting, yang saling terisi kopi
mereka saling berusaha menemukan pencerahan setelah menikmati kopi yang ada
apa tidak bagitu revolusinya hubungan kita?
apa engkau tahu ada bahasa revolusi datang dari warung-warung kopi?
kalau sudah begitu apa masih belum cukup di bilang romantis revolusioner?
karena hubungan kita adalah segelas kopi
mau kan sayang?
Salam Ef Suma
Jakarta, 16.11.2014
Sabtu, 04 Oktober 2014
Berita Sastra: Pagelaran “Sastra Menolak Terorisme” Gedung Arsip Nasional, 22 September 2014
Senin malam, (22/08/2014) BNPT (Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme) bekerjasama dengan Lembaga Daulat Bangsa dan juga
Komunitas Sastra Indonesia melaksanakan pagelaran “Sastra Menolak Terorisme”.
Acara ini berlangsung di Gedung Arsip Nasional, Jalan Gajah Mada 111, Jakarta
Barat, menampilkan antara lain pembacaan puisi presiden penyair Indonesia
Sutardji Calzoum Bachri, wayang kulit Betawi, dengan lakon Gatotkaca Jadi Raja
dengan dalang Sukarlana, musikalisasi puisi Omah Suwung, monolog dan peluncuran
buku antologi puisi menolak terorisme“Pengantin Langit”.
Acara pada malam itu berlangsung pada pukul
18.00 hingga 23.00 diawali dengan makan malam yang diiringi gemulainya musik gamelan.
Pembukaan acara dibuka dengan music tradisional dan pertunjukan Gunungan. Setelahnya,
terdapat pula musikalisasi puisi Omah Suwung (mantra tolak bala) dan pembacaan
satu puisi oleh Penyair Abdullah Wong yang berjudul Teroris Hati.
Tujuan berlangsungnya acara pagelaran
sastra dan kesenian ini seperti yang ada di press release, ialah memomentumkan
bangkitnya para seniman dan komunitas sastrawan maupun penyair juga seluruh
komponen masyarakat yang hadir untuk turut serta dalam pencegahan terorisme.
Menurut Ketua Lembaga Daulat Bangsa, Soffa Ihsan,
terorisme hingga kini terus menjadi ancaman bagi masyarakat, negara dan bangsa.
Paras gerakan terorisme bertumbuh dan bermetamorfosa dari mulai jaringan besar
hingga dalam wujudnya yang bersifat individual. Berbagai cara dilakukan dalam
aksi terorisme seperti bom bunuh diri, penembakan, penculikan, dan bentuk
kekerasan lainnya.
“Melalui sastra melesak jiwa-jiwa
kepedulian yang bermata air dari kegalauan, keperihan dan kepedihan. Ia menjadi
pengembaraan kata-kata yang melampaui realitas baku, kaku, dan segala rupa
verbalitas,” ujarnya.
Sambil diselingi pementasan wayang kulit
Betawi dengan lakon Gatotkaca Jadi Raja dengan dalang Sukarlana yang
menyelipkan pesan moral deradikalisasi beragama. Acara semakin seru dengan
masuknya Presiden Penyair Indonesia, Sutarji Calzoum Bachri yang mengguncang
panggung dengan tiupan harmonikanya sambil membacakan puisi ‘Aku’ Chairil
Anwar. Riuh tepuk tangan hadirin kembali pecah kala Sutarji membacakan karya
puisinya yang berjudul ‘Jembatan’ dengan pembawaan gaya nyentrik khasnya.
Sebagai penutup, Sutarji berorasi mengenai
bahayanya terorisme bagi kedamaian di negeri ini. Namun, terorisme menurut
Sutarji bukan hanya terror bom dan serangan-serangan kelompok ekstrimis
golongan agama tertentu. “Terorisme adalah penindasan-penindasan elite terhadap
rakyat, pembiaran-pembiaran kesengsaraan, kelaparan, dan kemiskinan terhadap
rakyat. Hal tersebut juga terorisme”, ujarnya.
(Azami Mohammad)
Rabu, 10 September 2014
KOPI RAKYAT UNTUK MAHASISWA
KOPI RAKYAT UNTUK MAHASISWA
Azami Mohammad*
Kantin,
Koperasi mahasiswa, dan Warung kopi tak pernah sepi dari hiruk-pikuk mahasiswa.
Perputaran ekonomi menengah ke bawah ini terus melaju bagaikan roda peruntungan
bagi pelaku ekonomi tersebut yang hendak mempertaruhkan dirinya pada Ibukota
Jakarta. Sadar atau tidak, fenomena yang terjadi terus-menerus antara ‘kopi’
dan mahasiswa akan menimbulkan dialektika informal antara mahasiswa dan ‘wong
cilik’ sebagai pelaku ekonomi kreatif rakyat. Pola komunikasi seperti inilah
yang mengkonstruksikan daya kepekaan mahasiswa terhadap kondisi sosial dan
ekonomi bangsa ini.
Dalam
sejarahnya, gerakan mahasiswa di Indonesia selalu terbentuk dari kondisi
sosial-kemasyarakatan hierarki paling bawah dengan para mahasiswa yang sering
dikatakan sebagai ‘agent of change’. Runtuhnya rezim orde lama tahun 1966 dan orde
baru pada tahun 1998 merupakan hasil dari konsolidasi antara mahasiswa dan
masyarakat lapisan bawah. Dalam menggulingkan orde baru mahasiswa dan rakyat bergotong-royong
menumbangkan rezim otoriter yang berkuasa selama 32 tahun lamanya.
Namun,
hari ini mahasiswa telah terjangkit virus ‘life style’ ke barat-baratan.
Pasalnya, Seven Eleven, KFC, dan tempat nongkrong import lainnya sedang
merenggut romantisme mahasiswa dan warung kopi. Lihatlah Sevel (sebutan untuk
Seven Eleven) yang setiap harinya selalu ramai dikunjungi penikmat produk
import hingga 24 jam lamanya. Keramaian tersebut tak menggiring obrolan ringan
soal sastra, politik, kritik kebijakan kampus terlebih lagi diskusi. Semua yang
ada di dalamnya serba glamor, parlente, dan bersikap elitis. Ya, lagi-lagi ini
soal selera, hak tersebut tak dapat digugat dan merupakan bagian dari dinamika.
Singkirkan soal ‘idealisme’, ‘hedonisme’ atau apapun itu, sebab mungkin ini
hanya soal selera dan pilihan.
Mahasiswa
tak lagi ingin turun ke jalan, bergeliat dengan diskusi dan kajian yang kian
terpinggirkan. Lucunya, hal ini terjadi setelah kebebasan berdiskusi telah
direnggut kembali dari rezim otoriter orde baru. Seperti yang digambarkan oleh
W.S Rendra dalam puisinya ‘Sajak Mahasiswa’ yang mengatakan “kampus
diserang oleh tank baja, kata-kata dilawan kekerasan” betapa kebebasan yang
secara instrument harapannya dicita-citakan oleh para mahasiswa selalu di marking
oleh orde baru. Sungguh suatu hal yang signifikansinya mengarah kepada pola
budaya intelektual yang jauh panggang daripada api.
BENYAMIN SUEB SI ANAK KAMPUNG ASAL BETAWI
Oleh: *Azami Mohammad
“Anak Betawi… ketinggalan jaman, katenye. Anak
Betawi… ngga berbudaye, katenye.. Penggalan lagu tersebut adalah soundtrack Si Doel
Anak Sekolahan yang tenar di dunia perfilman pada tahun 1972 hingga awal tahun
2000-an yang disutradarai oleh Sjuman Djaja. Dalam gubahan lagu tersebut tentu
saja banyak orang Betawi yang tersinggung dan lantas bertanya-tanya, kenapa
kita sebagai orang Jakarta (metropolitan) asli dibilang ketinggalan jaman?
Kenapa bukan orang Jawa atau Sunda? Dan masih banyak yang terbesit dalam benak
orang Betawi mengenai gubahan lagu ini.
Asal punya usul, ternyata lagu tersebut adalah
jawaban daripada cibiran-cibiran yang selalu dilontarkan kepada orang-orang
Betawi. Memang jika dibandingkan dengan suku-suku lainnya yang ada di
Indonesia, Betawi tak seseksi Minang, Jawa, Bali, Bugis, dan lainnya dalam
obrolan tradisi dan kebudayaannya. Namun pada perjalanannya, muncul seorang
seniman ‘nyentrik’ asal Betawi yang lahir pada tanggal 5 Maret 1939. Ya, orang
tersebut bernama lengkap Benyamin Sueb tokoh seniman dari Betawi. Benyamin yang
akrab disapa Bang Bens ini adalah seorang pelawak, actor, pemain lenong,
sutradara, dan penyanyi. Hal ini menepis citra orang Betawi yang dikatakan
ketinggalan jaman dan tidak berbudaya seperti dalam gubahan lagu Si Doel Anak
Sekolahan tersebut.
Benyamin kecil adalah seorang anak jahil
yang periang. Terlahir dari keluarga Betawi pinggiran yang tidak kaya, Benyamin
kecil sudah turut membantu keluarganya dengan mengamen keliling seputar
kampungnya. Banyak orang yang memujinya dikarenakan memiliki suara yang khas
dan gayanya yang humoris. Pada masa mudanya, Benyamin mulai memahami bahwa
budaya lokalnya (Betawi) adalah identitas kebanggaan bagi dirinya. Sebelum
namanya melambung di jagad entertain di Indonesia, Benyamin muda hanyalah
seorang pemain lenong panggilan. Ia juga pernah menjadi tukang roti dorong dan
kenek bis. Setelah menikah dengan gadis bernama Noni pada tahun 1959, barulah Benyamin
kembali menekuni dunia musik. Karir musiknya melejit saat Ia bergabung dengan
grup musik Naga Mustika.
Apa yang teristimewa dari musik Benyamin?
Pada tahun 1960-an, Soekarno melarang segala bentuk westernisasi di
Indonesia. Ketika itu sedang gandrung music-musik import di kalangan kawula
muda Indonesia, maka music yang berbau Barat pun dilarang oleh Soekarno. Namun,
ketenaran musik adat tradisional memang sudah terlihat kalah pamor dengan music
modern. Benyamin melihat gambang kromong yang kala ia kecil amat populer, kini
tak sepopuler dahulu kala. Gambang kromong hanya dimainkan saat pentas lenong
dan hajatan saja. Hal ini membuka matanya untuk memainkan kembali keroncong
Betawi dan gambang kromong dengan perpaduan music modern. Seketika musiknya
meledak di pasaran. Namanya pun terkenal di Indonesia sebagai musisi Betawi
modern. Tak ayal Benyamin diacungi jempol oleh gurunya, seniman terkenal Bing
Slamet.
Benyamin tak sekedar bermain musik.
Lagu-lagunya sarat akan pesan moral, seperti lagunya yang berjudul ‘Kompor Meleduk’
Benyamin menyentil kebiasaan warga Jakarta khususnya, dan Indonesia pada
umumnya yang suka membuang sampah dan enggan membersihkan lingkungan
sekitarnya. Ia juga cinta kebudayaannya, lagu-lagunya tak melepas aksen Melayu
Betawinya yang memang sengaja ia perdengarkan kepada khalayak. Benyamin juga
seakan ‘pamer’ dengan kebudayaan Betawinya. Lagu ‘Ondel-ondel’ adalah buktinya,
ia meluapkan kebanggaan kebudayaan Betawinya lewat musik.
Dari pemain lenong menjadi pemain layar
lebar. Ya, itulah Benyamin, orang Betawi yang jadi artis film. Di kemudian
harinya, orang-orang Betawi banyak yang menjadi actor yang memang berbakat
sebelumnya dalam aktor lenong. Bahasa ceplas-ceplos khas Betawi, gaya
‘nyentrik’ Benyamin yang kocak membuat ia disukai penikmat film di Indonesia.
Maka puluhan filmnya ‘bolak-balik’ masuk bioskop layar lebar.
Pada tanggal 5 September 1995, Benyamin
menghembuskan nafas terakhirnya. Ia mendadak terkena serangan jantung sehabis
bermain sepak bola. Memang Benyamin bukanlah tokoh terkenal Betawi seperti
Pitung, Husni Thamrin, Raden Saleh, Bing Slamet dll. Namun dalam kalangan
masyarakat Betawi, Benyamin adalah sosok orang Betawi sebenarnya yang lantang
ingin terus menyuarakan bahwa masyarakat Betawi bukanlah nostalgia Jakarta
belaka. Dibalik megahnya metropolitan, disana terdapat sekelompok masyarakat
yang ketinggalan jaman dan ‘gak berbudaye’ Katenye.
*Penulis adalah anak Betawi asli
Selasa, 27 Mei 2014
Partisipasi Politik Warga Nahdliyyin
Warga Nahdliyyin dan Demokrasi Kepartaian
Ketika manusia disebut sebagai zoon
politicon, maka segala jenis kehendak untuk berkuasa yang ada di dalam diri
manusia harus tereksistensikan dalam sebuah kontestasi politik. Sistem
demokrasi yang kini tengah dianut oleh masyarakat global, mengatur segala
konstruksi yang dapat menampung naluri berpolitik setiap individu maupun
kelompoknya. Ukuran demokrasi yang paling jelas adalah hak pilih universal: hak
setiap warga untuk memilih. Ya, pemilihan umum merupakan sebuah jalan bagi
demokrasi untuk pemenuhan kehendak berkuasa sang “zoon politicon”
tersebut.
Di
Indonesia, pemilihan umum atau yang biasa disebut pesta demokrasi, selalu
mendapat rating yang tinggi dalam agenda lima tahunan wajib bagi Negara yang menganut
sistem demokrasi ini. Maka, pada faham demokrasi ini, agenda Pemilu di
Indonesia bergagasan mengenai partisipasi rakyat dan partisipasi politiknya mempunyai
dasar ideologis bahwa rakyat berhak turut menentukan siapa yang akan menjadi
pemimpin yang akan mewakili mereka. Partisipasi politik merupakan
pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat.[1] Maka dalam hal ini partisipasi politik amatlah penting dalam rekonstruksi
sebuah sistem demokrasi yang berdaulat.
Organisasi massa
Nahdatul Ulama merupakan organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Pada
perkembangannya, Nahdatul Ulama dan warga Nahdliyyin selalu turut andil dalam
kancah perpolitikan di Indonesia. Partisipasi politik warga Nahdliyyin akan
selalu menjadi trending topic sebagai sebuah cek and balances serta ukuran
sejauh mana keterlibatan umat Islam di Indonesia dalam bingkai Pemilu. Data
yang disajikan pada tahun 2014 oleh Lembaga Survei Indo Barometer menyatakan
bahwa dari sekitar 185 juta pemilih, 33 persen menyatakan diri sebagai warga
Nahdliyyin.
Menurut almarhum K.H Abdurrahman Wahid dalam
seminar nasional ‘Re-orientasi Wawasan Keislaman Muhammadiyah dan NU’ di
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 1993 mengatakan, bahwa
perjalanan NU selama 32 tahun resmi menjadi organisasi politik dapat dikatakan
bahwa setengah hidup NU adalah berpolitik formal. Bila melihat kenyataan ini
maka wajar-wajar saja kalau impulse-impulse politik tetap ada di lingkungan NU,
tidak pernah mati dan malah mekar.[2]
Kontes
politik NU dari masa ke masa selalu dapat mengakomodir warga Nahdliyyin dalam
berpolitik. Pasca Kemerdekaan, NU yang telah membentuk wadahnya sendiri dalam
berpolitik pada tahun 1955 dapat meraup suara terbanyak ke-3 dalam Pemilu
tersebut. Puncaknya adalah ketika sejumlah elite PBNU (Pengurus Besar Nahdatul
Ulama) menyalurkan hasrat politiknya atas dasar pertimbangan mewadahi warga
Nahdliyyin dalam berpolitik. Maka lahirlah PKB (Partai Kebangkitan Bangsa)
walaupun NU sendiri telah mendeklarasikan untuk kembali kepada khittah NU 1926.
Pada tahun 1999, PKB keluar sebagai partai pemenang dengan K.H Abdurrahman
Wahid sebagai Presiden Indonesia ke-4.
Warga
Nahdliyyin selalu diberikan wadah dalam berpartisipasi politik oleh NU sebagai
Organisasi massa yang menaunginya. Namun dewasa ini, partisipasi politik warga
Nahdliyyin dalam segi konvensional, terlihat keengganan warga Nahdliyyin dalam
berdemokrasi ala kepartaian.[3]
Terlihat dari data yang disajikan oleh KPU dalam Pileg (Pemilihan Legislatif)
2014 yang menyebutkan bahwa PKB hanya meraup suara 9,8 persen. Hal ini amatlah
signifikan dilihat, jika dari 33 persen warga Nahdliyyin yang ada hanyalah 9
persen kecenderungan memilih PKB. Maka dapatlah kita simpulkan bahwa sekitar 24
persen suara warga Nahdliyyin tercecer entah kemana.
Secara
kultural, warga Nahdliyyin akan selalu berafiliasi dengan NU dalam setiap
partisipasi politiknya. Perubahan arah partisipasi politik warga Nahdliyyin
yang tak lagi kepartaian, dapat dianalisis dari teori Myron Weiner yang
berpandangan, terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan ke arah
partisipasi lebih luas dalam proses politik; meliputi modernisasi, perubahan
struktur kelas sosial, pengaruh kaum intelektual, konflik di antara
kelompok-kelompok politik dan komunikasi masa modern, konflik di antara
kelompok-kelompok politik, serta keterlibatan pemerintah yang luas dalam
berbagai bidang.[4]
Terkait hal tersebut
perlulah bagi NU me-reorientasikan kembali impulse-impulse politik bagi warga
Nahdliyyin dan partisipasi politiknya. NU sebagai organisasi massa Islam
terbesar di Indonesia merupakan tonggak kekuatan demokrasi serta kedaulatan
Indonesia, yang berasakan Islam pancasilais dan Islam ke-Indonesiaan.
[1] Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik Suatu Pengantar, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1998), h. 3.
[2] Abdurrahman Wahid, Reorientasi
Wawasan Keislaman NU dalam Politik, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1993), h. 91.
[3] Sebuah demokrasi yang berdasarkan
asas-asas kepartaian.
[4] Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia
dalam Prespektif Struktural Fungsional (Surabaya: SIC, 2002), h. 130-131.