Gila!!! Membaca
kumpulan cerpen terbitan Surah dari
Abdullah Alawi dan A. Zakky Zulhazmi dalam bingkisan buku Gula Kawung dan Pohon
Avokad saya sendiri EMOSI. Pertama
lama tidak mendapatkan kabar dari salah satu penulisnya (A. Zakky Zulhazmi)
sudah begitu emosi karena Bung satu ini adalah salah satu kawan nongkrongku
ketika menjelang senja di kampus setiap kali hari rabu. teringat emosi saya
ketika lagi asik diskusi di kelompokku yang selalu mengulas tentang kebudayaan
dan hal ilmiah lainnya, bung satu ini enak cuek diskusi sendiri dengan kelompok
Senja-Kala(itu). Tapi emosi yang saya luapkan bukan amarah tapi kebahagiaan
karena fenomena seperti itu sangat romantis antara Kebudayaan dan Sastra duduk
beriringan tapi beda sudut ketika di pandang dari jarak sekian meter tempat
keberadaannya antara garis timur dan garis barat. Kedua emosiku membuncah ketika ada kabar lagi Buku barunya,
Brengsek!!! Tapi aku senang ternyata Bung satu ini jalannya masih seirama
dahulu tetap berada di garis Sastranya. Dan sebelum mengulas cerpen-cerpennya satu
persatu pertama-tama saya ucapka Selamat Bung dan MERDEKA!!!
Membaca judulnya
itu terlintas kenikmatan buah Avokad seandainya di campur dengan Gulah Kawung
dan di campur Es pasti akan terasa yummi yummi… tapi itu terlalu lebay karena
sebenarnya tinggal beli buah Avokad di tambah gula dan Es tapi sayangnya
mengharapkan dapat gula kawung seperti yang di ceritakan itu dimana ya, lebay
lagi aja deh. Dan yang membuat saya tidak habis pikir adalah gambar sampul
bukunya yang di rancang oleh Hasyim Zain yang tinggi kenapa warnanya tidak
sesuai dengan kodrat daun Avokad, ah mungkin itu disebabkan panas atau mungkin
di suntikkan zat pewarna untuk daun pada batangnya sebelum tumbuh besar hehehe
Oke saya mendapatkan
buku ini hari Selasa 3 Februari 2015 jam 11:45:51 Via Danny utusan dari Bung
Zakky. Saya telah membacanya dengan tuntas pada hari itu juga, karena saya
emosi, tergelitik membaca setiap lembarnya hingga saya berhasrat untuk
membacanya terus dan terus sampai selesai tapi ternyata omong kosong seperti
yang di ungkapkan oleh Penyunting bukumu (Bung Dedik Priyanto) dan ternyata
memang benar omong kosong dan bualan belaka, bualan Gurih sebagai tulisan.
Abdullah Alawi sebelumnya saya tidak
tahu betul paras sebenarnya seperti apa kalau melihat langsung, terlepas dari
parasnya nama itu sudah familiar sebagai bagian dari Surah ditelinga saya. Tulisan
yang di rangkum dalam buku ini begitu menggoda saya untuk mengingat-ingat apa
yang ada di kampung kelahiran, tentang orang tua yang percaya akan mimpi yang
turun temurun itu menggendong pesan, tentang lemahnya pemerintahan desa,
tentang kondisi listrik dan ekonomi keluarga di kampung, tentang amarah anak
muda dan kerinduang romantisme keluarga.
Gula Kawung, membaca judulnya sendiri
sudah sangat manis dan nikmat. Isi yang ada dalam cerpen ini dari mimpi
kemudian menjadi penyadap. Tapi nasib kebahagiaan anak yang dirampas bukan pada
usianya sungguh membebani pikiranku, anak kecil yang selayaknya bermain dengan
kebahagiaannya harus memikul nasib dari mimpi “menggiring air dari lembah
sampai kebukit” yang kadung di ceritakan kepada kakeknya menjadi penyadap Gula
Kawung, Jalu namanya.
Terlepas dari mitos atau tidak
yang di riwayatkan oleh tetua kampung dahulu, kini Jalu harus menerima mitos
yang di bangun kakeknya sebagai penyadap. Tapi akan terlihat heroik ketika Karuhun
menitipkan warisannya hanya pada Ki Jabog, Ki Martabi, Ki Kusbi, Eyang Inok, Ki
Aim dan kakeknya memberikan kebebasan pilihan nasib dan perubahan penafsiran
mimpi yang seandainya seperti ini “Jalu, gapailah pendidikanmu
setinggi-tingginya dan menjadi pemimpin yang amanah untuk kampung kita” sambil
tangan sang kakek sambil mendekap pundak Jalu. Ah tapi itu hanya bualanku saja.
Jalan Aspal Bulan Lima nasib yang
kecil memang di timang-timang yang besar, di rayu janji yang membuat terbuai
dan bisa di jatuhkan kapan saja. begitulah potret kampung Pojok yang
terpojokkan nasibnya sesuai nama kampungnya, hingga beberapa kali pergantian
Kadus tetap terpojokkan kebahagiaan untuk menikmati jalan seperti di kota-kota.
Wasiat yang di sampaikan generasinya turun temurun bahwa pada bulan lima akan ada
pengaspalan. nasib tidak membuktikan pesan orang tua, pengaspalan ternyata akan
ada pada bulan dua belas untuk kepentingan tertentu, kuasa. Ah nasib si kecil
akan terus di timang si besar dan ahirnya musibah yang di dapat sesuai dengan
pengaspalan yang tidak sesuai dengan bulan yang di ceritakan para orang tua.
Dalam cerpen ini menceritakan kondisi carut marut politik kepentingan yang ada
di Indonesia bahwa yang kecil akan selalu di jadikan objek kepentingan,
Sadis!!! Bagian yang paling membuat emosi dari cerpen Abdullah Alawi adalah Listrik Mati Lagi bahwa kemiskinan akan membawa kita pada
kekejian, tapi kaya juga jangan berlebihan tingkahnya karena akan membuat keji
(Ceramah sedikit boleh lah), tapi kemiskinan yang ada pada cerpen ini membuat
saya emosi karane anak di jadikan lumbung pangan bukan memperkejakan tapi
membunuhnya satu persatu untuk mendapat sumbangan bela sungkawa beras dan
minyak dari tetangga-tengganya, sialan. Satu persatu anaknya mati saat lampu
mati dengan alasan sumbu dan minyak habis, atau jangan-jangan itu bentuk
kesengajaan orang tua untuk membunuh anaknya dalam gelap, yang sebenarnya tidak
tega membunuh kalau dalam keadaan terang. Satu hal lagi yang membuat saya kesal
adalah Mak Emah membiarkan keadaan seperti itu terjadi pada cucu yang masih
hidup, kenapa tidak mengasuh di rumahnya saja. Duh ya Emak emak. Jalu Mengasah Golok amarah anak muda
yang membuncah ini jangan-jangan terusan dari Jalu yang menjadi penyadap Gula
Avokad karena kesendirian selepas ditinggal sang kakek (Tidak di jelaskan
keluarganya) wajar toh aku berasumsi seperti ini hehehe.. misteri golak makan
tuan ini jangan-jangan pembunuhan yang bermotif ketika sukaan seseorang pada
Jalu atau kecemburuan pada Golok Jalu yang bagus. Kalau saya menjadi tim
mengidentifikasi fakta meninggalnya Jalu ini pasti saya akan meminta kejelasan
pada orang yang baru datang dan pak RT yang berebut golok yang memakan korban
empunya itu, dan kalimat yang menjadi penguat adalah kalimat terahir entah dari
siapa “Tidak. Akulah yang pertama kali menggunakan golok itu untuk membunuh
orang. Itu golokku” jreng…jreng…
Romantisme yang
tidak diucapkan Antara Ibu dan Ayah
ini membuat saya nyengir-ngengir sendiri ketika melihat tingkah laku ayah ibu
yang saling menyembunyikan sesuatu pada anaknya ini hanya bisa bungkam,
sebenarnya cinta. Atau jangan jangan ini ekspresi penulis dalam cinta yang
selalu tersendat dan hanya menceritakan kekagumannya pada teman karibnya tidak
keorangnya langsung hihihi piss ah hanya menafsiran asal-asalan saya aja kok.
Tapi pesan yang tersembunyi dari tingkah laku ayah dan ibu si anak ini jangan
di contoh loh akan membuat anak mempunyai imajinasi liar untuk menyelesaikan
masalah, lebih baik ceritakanlah (Ceramah lagi deh) stop dulu tentang cerpenmu
mas, akan lebih asik kita saling membantai di forum kalau memang akan diadakan.
A.Zakky Zulhazmi adalah penulis yang
imut dan senyumnya yang selalu mengembang, matanya yang menerawang itu yang
selalu saya rindukan. Hai Bung!!! Cerpen sampean ini loh bikin kesel Masjid Abah kenapa ga revolusioner
banget sampai tidak sanggup mempertahankan peninggalan orang tua. Ternyata Abah
Dahlan bagian dari borjuis lontong yang kalah dengan cobaan sampai masjid harus
di jual pada pengembang, dan terlalu
sentimentil menghadapi cobaan harusnya biarkan masjid itu ada dari bagian apa
yang di rencanaan pengembang untuk membangun real estate sehingga tidak perlu membangun masjid lagi cukup
merenovasi, dan kenapa abah Dahlan toko agama terlalu liar tapi pendek
menafsirkan mimpi dengan orang tuanya, saya tidak mengerti karena ini cerita
belaka. Kenapa tidak di edit Keris menjadi Batu yang lagi ngetrend hahaha… cerita
Lelaki dengan Rajah Akar di Pipi Kirinya
yang di kemas dengan apik, tragedi Situ Gintung tahun 2009 ini memang memilikan
karena saya sendiri berada pada kelompok relawan yang harus mengangkut korban
dan mayat. Dan kamu bung sukses melebay
kan suasana dengan mitosnya heuheuheu…
Ternyata kang
Nanang adalah penganut kesuksesan jalan pintas dalam cerpen Tidak ada yang minum Kopi malam ini,
dengan mengorbankan tikus diajaknya dalam perbincangan usaha angkringan (tikus
Ciputat juga banyak bung kalau mau bikin usaha juga). Angkringan memang
tongkrongan yang lebih dekat dengan saya di banding tempat yang mewah dan berAC
apalagi banyak perempuan yang cantik dan berRok mini yang memikat mata, mbook ya
yang jangan di ceritakan Tikusnya itu loh heuheuheu, tapi benar kalau tidak
begitu tidak akan laku dagangannya disamping itu katanya harus menggunakan
jimat bung biar tambah laku, Batu mulia setidaknya hahaha. Tapi saya sempat
membayangkan kalau tingkah pegangan tangan antara Amik dan Eva dalam cerita “Diam-diam aku simpulkan alangkah Indahnya
rahasia ini” ini berlanjut tidak hanya sepenggal terus ilang (Terusin ya)
itu romantis banget hehehe atau sampai orang tua keduanya ketemu dan saling
menceritakan ketika kepergok Bulik Arum dari rimbun pohon manga, bikin Amik dan
Eva cengar-cengir kuda heuheuheu jadi bukan hanya keindahan rindu ibu dan anak
Cup…cup…Muach… momen KKN memang cerita yang sangat menarik, apalagi ada
kenangan yang di bawa dari KKN atau
jangan-jangan cerita ini KKNmu yang di kemas selebay mungkin, mungkin.
Silaturahmi memang indah seperti yang ada pada cerita Pohon Avokad pertemuan antara Nabila dan Bu Nonoh akibat terkilir
ini membawa berkah sendiri bagi Bu Nonoh karena lauk pauk dan lainnya yang di
bawakan Nabila (Ceramah berkah silaturahmi lagi deh). Pertemuan cinta karena
pohon Avokad ini romantis, semoga Bung juga ada kabar tidak kalah romantis
seperti cerita Pohon Avokad, tapi sebagai doa semoga nasib cintamu tidak
seperti pohon Avokad yang tercabik-cabik hohoho…
Maaf saya mengungkapkan emosiku
satu-persatu karena saya bener-bener EMOSI, MERDEKA!!!
Ef Suma
3 Februari 2015
0 komentar:
Posting Komentar