Gambar dari: www.wartamadani.com |
Oleh Ade Faizal Alami
Salam Kebudayaan!!!
Teman-teman yang saya cintai,
Tidak bisa dipungkiri, Pramoedya Ananta
Toer merupakan sastrawan besar yang dimiliki bangsa Indonesia. Karya-karyanya
dengan sangat gamlang bukan saja memotret sejarah dan kondisi social bangsa
Indonesia, tetapi juga secara tidak langsung bagian-bagiannya mengajarkan kita
bagaimana manusia harus hidup berbangsa. Bagaimana penindasan harus dilawan,
bagaimana kita menolak takluk terhadap segala bentuk penindasan.
Namun, seperti yang sama-sama kita
ketahui, hampir semua karyanya dilarang beredar oleh penguasa. Bumi Manusia,
Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah yang diterrbitkan oleh Hasta Mitra,
dilarang beredar oleh pemerintah Orde Baru berdasarkan Surat Nomor:
Kep-036/J.A/5/1986. Rumah Kaca dan Gadis Pantai juga dilarang beredar oleh
pemerintah otoriter berdasarkan Surat Nomor: Kep-061/J.A/1988. Begitu pula
karya lainnya seperti Nyanyi Suci Seorang Bisu, Percikan Revolusi Subuh, dan
masih banyak lagi.
Teman-teman yang saya cintai,
Tulisan adalah peluru, begitulah
menurut Pram. Dan itu bisa kita lihat dalam karya-karyanya. Melalui mulut
berbagai tokoh dalam karya tetraloginya, Pramoedya Ananta Toer menembakkan
peluru bagi siapa pun yang membacanya. Bagaimana metode belajar? Kata Pram,
“Kau akan berhasil dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya akan berhasil,
dan berhasillah kau; anggap semua pelajaran mudah, dan semua akan jadi mudah;
jangan takut pada pelajaran apa pun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan
awal yang akan membodohkan semua”,
“Kau terpelajar, cobalah bersetia pada
kata hati”.
Tapi ingat, ada penyakit yang
menjangkiti para terpelajar, para mahasiswa, para intelektual muda seperti
kita. Yaitu, menganggap rakyat jelata tidak lebih pandai daripada kita. Dan itu
sudah diingatkan Pram, “Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain
bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang-orang lain
pandai”.
Sebagai bagian dari para terpelajar,
Pram lagi-lagi menyadarkan kita melalui tokoh Jean Marais dalam Anak Semua
Bangsa: “Kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak
terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus
bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu” (Anak Semua Bangsa, hal.
55), kalimat itu tentu saja menampar mahasiswa yang sok intelek, terjun
ke tengah-tengah rakyat dengan bahasa-bahasa yang sok ilmiah, mengutip
teori-teori filsafat dan tokoh-tokoh terkemuka. Padahal menurut Pram, “Kau
harus, harus, harus bicara pada mereka dengan bahasa yang mereka tahu.”
Jika rakyat belum terdidik, maka
sebagai seorang terpelajar, kau berkewajiban mendidiknya: “Apakah sebangsamu
akan kau biarkan terbungkuk-bungkuk dalam ketidaktahuannya? Siapa bakal memulai
kalau bukan kau?”. Masih melalui Jean Marais dalam Anak Semua Bangsa halaman
52, kata Pram, “Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam
pikiran, apalagi perbuatan”.
Teman-teman yang saya cintai,
Belajar itu bukan hanya di
bangku-bangku kelas, dengan layar monitor, LCD modern, atau pun hanya menghadap
proyektor dan mendengar cuap-cuap celoteh dosen. Bukan hanya di gedung-gedung
kampus, berjalanlah di tengah-tengah petani, di hiruk-pikuk pasar tradisional,
di tengah kesulitan rakyat untuk mengasah hati kita. Melalui tokoh Frischboten,
Pram berujar: “Jangan Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang
guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang
sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula
pada dasarnya”. (Frischboten, 291)
Ilmu pengetahuan memang pada dasarnya
baik, hanya bagaimana kita mengggunakan pengetahuan yang kita punya. Melalui
tokoh Khou Ah Soe, seorang angkatan muda Thionghoa yang dipaparkan Pramoedya
dalam Anak Semua Bangsa, menjelaskan bagaimana ilmu pengetahuan
bagaikan pisau, tergantung siapa yang memanfaatkan. “Dengan ilmu pengetahuan
modern, binatang buas akan menjadi lebih buas, dan manusia keji akan semakin
keji. Tapi jangan dilupakan, dengan ilmu pengetahuan modern binatang-binatang
yang sebuas-buasnya juga bisa ditundukkan. (Khouw Ah Soe, Anak Semua Bangsa,
hal. 90).
Oleh karena itu, sebagai kaum
terpelajar yang oleh Antonio Gramschi disebut sebagai intelektual organis,
intelektual yang menjaga idealismenya, intelektual yang tidak menggadaikan
pengetahuannya untuk membodohi rakyat, kita harus sadar diri: “Semakin tinggi
sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain, tapi harus
semakin mengenal batas”, kata Pram. (Bunda: Bumi Manusia, hal.
138)
Sebagai terpelajar, kita seharusnya
malu. Dari dalam kuburnya, melalui karyanya, Pramoedya menyindir para terpelajar.
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan
hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah” (Minke: Rumah Kaca,
hal. 352). Melalui ucapan Nyai Ontosoroh kepada Minke, Pram juga berujar: “Tahu
kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu
takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.
(Mama, hal. 84)
“Setiap tulisan merupakan dunia
tersendiri, yang terapung-apung antara dunia kenyataan dan dunia impian” (Pangemanan:
Rumah Kaca, hal. 138). “Ilmu pengetahuan, Tuan-tuan, betapa pun
tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh
sehebat-hebat manusia dia pun tidak berpribadi. Tetapi sesederhana-sederhana
cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga
bangsanya. Kan begitu Tuan Jendral?” (Von Kollewijn: Jejak Langkah, hal.
32)
Begitu pentingnya menulis, dan
dahsyatnya kekuatan sastra, sehingga melalui Magda Peters dalam Bumi Manusia,
Pramoedya pun menyindir para terpelajar yang tidak suka membaca karya sastra,
“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan
apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.”
(Magda Peters: Bumi Manusia, hal. 233). Dan “suatu masyarakat paling primitif
pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak
pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat
mencintai sastra, walau (hanya) sastra lisan.” (Magda Peters: Bumi Manusia,
hal. 233)
Teman-teman yang saya cintai,
Kita adalah generasi yang hidup dalam
gemerlap teknologi, hidup dalam riuh zaman modern. Yang kata Minke, “...dan
modern adalah juga kesunyian manusia yatim-piatu (yang) dikutuk untuk
membebaskan diri dari segala ikatan yang tidak diperlukan: adat, darah, bahkan
juga bumi, kalau perlu juga sesamanya.” (Minke: Jejak Langkah, hal. 2)
Atau melalui Miriam de la Croix dalam Anak
Semua Bangsa, Pramoedya bertutur, “inilah zaman modern, Minke, yang tidak
baru dianggap kolot, orang tani, orang desa. Orang menjadi begitu mudah
terlena, bahwa di balik segala seruan, anjuran, kegilaan tentang yang baru,
menganga kekuatan gaib yang tak kenyang-kenyang akan mangsa. Kekuatan gaib itu
adalah deretan protozoa, angka-angka, yang bernama modal.” (Miriam de la Croix:
Anak Semua Bangsa, hal. 107)
Kita hidup dalam era kolonial yang
telah bermetamorfosis. Kolonialisme yang telah berubah menjadi lebih halus namun
lebih mengerikan, menguasai dan mengeruk sumber daya alam dari sebuah negeri
atas nama Undang-undang yang dibuat pribumi. Wajar jika Pram bertutur,
“Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi
bangsa-bangsa lain.” (Jalan Raya Pos, Jalan Daendels)
Memang kata Minke dalam Rumah Kaca,
“Sejak zaman nabi sampai kini, tak ada manusia yang bisa terbebas dari
kekuasaan sesamanya, kecuali mereka yang tersisihkan karena gila. Bahkan
pertama-tama mereka yang membuang diri, seorang diri di tengah-tengah hutan
atau samudra masih membawanya pada sisa-sisa kekuasaan sesamanya. Dan selama
ada yang diperintah dan memerintah, dikuasai dan menguasai, orang berpolitik.”
(Minke: Rumah Kaca, hal. 420)
Dalam tahap inilah seorang terpelajar
memilih posisi, berjuang membebaskan rakyat dari perbudakan modern, atau
ikut-serta dalam sistem perbudakan itu sendiri. “Bukankah tidak ada yang lebih
suci bagi seorang pemuda daripada membela kepentingan bangsany?” kata Pram. Dan
“kau harus bertindak terhadap siapa saja yang mengambil seluruh atau sebagian
dari milikmu, sekali pun hanya segumpil batu yang tergeletak di bawah jendela.
Bukan karena batu itu sangat berharga bagimu. Azasnya: mengambil milik tanpa
izin, pencurian; itu tidak benar, harus dilawan.”
“Kau mengabdi pada tanah ini, tanah
yang memberimu nasi dan air. Tapi para raja dan para pangeran dan para bupati
sudah jual tanah keramat ini pada Belanda. Kau hanya baru sampai melawan para
raja, para pangeran, dan para bupati. Satu turunan tidak bakal selesai. Kalau
para raja, pangeran, dan bupati sudah dikalahkan, baru kau bisa berhadapan pada
Belanda. Entah berapa turunan lagi. Tapi kerja itu mesti dimulai.” (Gadis
Pantai, hal. 121)
Memang teman, “Kehidupan lebih nyata
daripada pendapat siapa pun tentang kenyataan,” (Kommer: Anak Semua Bangsa,
hal. 199). “Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja
adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena, manusia juga
bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin
kenyataan-kenyataan baru maka ‘kemajuan’ sebagai kata dan makna sepatutnya
dihapuskan dari kamus umat manusia.” (Minke: Rumah Kaca, hal. 436)
Bukankah “selama penderitaan datang
dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia.”
(Anak Semua Bangsa, hal. 204)
Teman-teman yang saya cintai,
“Masa terbaik dalam hidup seseorang
adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri”. “Dan
alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain”. “Kalau
mati, dengan berani; kalau hidup, dengan berani. Kalau keberanian tidak ada,
itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita.”, kata Pram.
Penjajahan gaya baru bukan hanya
mengeksploitasi sumber daya alam bangsa kita, tapi juga mencabik-cabik kearifan
lokal bangsa kita. Masa modern adalah masa di mana sebuah bangsa kebingungan
identitas. Terlebih bangsa-bangsa bekas jajahan. Di mana-mana kita melihat para
pemuda, bahkan terpelajar, yang begitu sangat terpesona dengan gemerlap budaya
Barat, ditambah virus ‘alay’ Korea.
Dari bocah hingga orang dewasa, ada
saja yang begitu bangganya mengenakan segala sesuatu yang berbau Barat.
Sampai-sampai hampir setiap kalimatnya harus disisipi istilah-istilah bangsa
asing. “Kowé kira, sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa
sedikit bicara Belanda lantas jadi Eropa? Tetap monyet!”, kata Pram.
Memang pada era ini, bangsa Baratlah
yang unggul dalam teknologi. Tapi Pramoedya melalui mulut Nyai Ontosoroh dalam Anak
Semua Bangsa buru-buru mengingatkan, “Jangan agungkan Eropa sebagai
keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat. Di mana pun ada malaikat dan
iblis. Di mana pun ada iblis bermuka malaikat, dan malaikat bermuka iblis. Dan
satu yang tetap, Nak, abadi: yang kolonial, dia selalu iblis.” (Nyai Ontosoroh:
Anak Semua Bangsa, hal. 83)
“Jangan kau mudah terpesona oleh
nama-nama. Kan kau sendiri pernah bercerita padaku: nenek moyang kita
menggunakan nama yang hebat-hebat, dan dengannya ingin mengesani dengan
kehebatannya – kehebatan dalam kekosongan. Eropa tidak berhebat-hebat dengan
nama, dia berhebat-hebat dengan ilmu pengetahuannya. Tapi si penipu tetap
penipu, si pembohong tetap pembohong dengan ilmu pengetahuannya.” (Anak
Semua Bangsa, hal. 77)
Bagaimana cara menguatkan kepribadian
bangsa kita? Baca sejarah! Jangan sekali-sekali melupakan sejarah, kata Bung
Karno. Dan kata Pram, “Kalau orang tidak tahu sejarah bangsanya sendiri – tanah
airnya sendiri – gampang jadi orang asing di antara bangsa sendiri.” Oleh
karena itu, para terpelajar yang sudah ‘tercerahkan’, mempunyai kewajiban moril
untuk mengangkat harkat dan martabat bangsanya. “Dan bukankah satu ciri manusia
modern adalah juga kemenangan individu atas lingkungannya dengan prestasi
individual? Individu-individu kuat sepatutnya bergabung mengangkat sebangsanya
yang lemah, memberinya lampu pada yang kegelapan dan memberi mata pada yang
buta”.
Kaum terpelajar mempunyai kewajiban
moril untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa, untuk membebaskan rakyat
dari segala penindasan. Kecuali jika kalian adalah mahasiswa bebal. “Nilai yang
diwariskan oleh kemanusiaan hanya untuk mereka yang mengerti dan membutuhkan.
Humaniora memang indah bila diucapkan para mahaguru – indah pula didengar oleh
mahasiswa berbakat dan toh menyebalkan bagi mahasiwa-mahasiswa bebal.
Berbahagialah kalian, mahasiswa bebal, karena kalian dibenarkan berbuat
segala-galanya.” (Rumah Kaca, hal. 39)
Dan akhirnya, umat manusia harus
berterima kasih kepada wanita. Kata Minke dalam Jejak Langkah, “Tanpa
wanita takkan ada bangsa manusia. Tanpa bangsa manusia takkan ada yang memuji
kebesaran-Mu. Semua puji-pujian untuk-Mu dimungkinkan hanya oleh titik darah,
keringat, dan erang kesakitan wanita yang sobek bagian badannya karena
melahirkan kehidupan.” (Minke: Jejak Langkah, hal. 430)
Dan kata Pangemanann, “Pada akhirnya persoalan hidup adalah persoalan menunda mati, biar pun orang-orang yang bijaksana lebih suka mati sekali daripada berkali-kali.” (Pangemanann: Rumah Kaca, hal. 443).
0 komentar:
Posting Komentar