KOPI RAKYAT UNTUK MAHASISWA
Azami Mohammad*
Kantin,
Koperasi mahasiswa, dan Warung kopi tak pernah sepi dari hiruk-pikuk mahasiswa.
Perputaran ekonomi menengah ke bawah ini terus melaju bagaikan roda peruntungan
bagi pelaku ekonomi tersebut yang hendak mempertaruhkan dirinya pada Ibukota
Jakarta. Sadar atau tidak, fenomena yang terjadi terus-menerus antara ‘kopi’
dan mahasiswa akan menimbulkan dialektika informal antara mahasiswa dan ‘wong
cilik’ sebagai pelaku ekonomi kreatif rakyat. Pola komunikasi seperti inilah
yang mengkonstruksikan daya kepekaan mahasiswa terhadap kondisi sosial dan
ekonomi bangsa ini.
Dalam
sejarahnya, gerakan mahasiswa di Indonesia selalu terbentuk dari kondisi
sosial-kemasyarakatan hierarki paling bawah dengan para mahasiswa yang sering
dikatakan sebagai ‘agent of change’. Runtuhnya rezim orde lama tahun 1966 dan orde
baru pada tahun 1998 merupakan hasil dari konsolidasi antara mahasiswa dan
masyarakat lapisan bawah. Dalam menggulingkan orde baru mahasiswa dan rakyat bergotong-royong
menumbangkan rezim otoriter yang berkuasa selama 32 tahun lamanya.
Namun,
hari ini mahasiswa telah terjangkit virus ‘life style’ ke barat-baratan.
Pasalnya, Seven Eleven, KFC, dan tempat nongkrong import lainnya sedang
merenggut romantisme mahasiswa dan warung kopi. Lihatlah Sevel (sebutan untuk
Seven Eleven) yang setiap harinya selalu ramai dikunjungi penikmat produk
import hingga 24 jam lamanya. Keramaian tersebut tak menggiring obrolan ringan
soal sastra, politik, kritik kebijakan kampus terlebih lagi diskusi. Semua yang
ada di dalamnya serba glamor, parlente, dan bersikap elitis. Ya, lagi-lagi ini
soal selera, hak tersebut tak dapat digugat dan merupakan bagian dari dinamika.
Singkirkan soal ‘idealisme’, ‘hedonisme’ atau apapun itu, sebab mungkin ini
hanya soal selera dan pilihan.
Mahasiswa
tak lagi ingin turun ke jalan, bergeliat dengan diskusi dan kajian yang kian
terpinggirkan. Lucunya, hal ini terjadi setelah kebebasan berdiskusi telah
direnggut kembali dari rezim otoriter orde baru. Seperti yang digambarkan oleh
W.S Rendra dalam puisinya ‘Sajak Mahasiswa’ yang mengatakan “kampus
diserang oleh tank baja, kata-kata dilawan kekerasan” betapa kebebasan yang
secara instrument harapannya dicita-citakan oleh para mahasiswa selalu di marking
oleh orde baru. Sungguh suatu hal yang signifikansinya mengarah kepada pola
budaya intelektual yang jauh panggang daripada api.
0 komentar:
Posting Komentar