Warga Nahdliyyin dan Demokrasi Kepartaian
Ketika manusia disebut sebagai zoon
politicon, maka segala jenis kehendak untuk berkuasa yang ada di dalam diri
manusia harus tereksistensikan dalam sebuah kontestasi politik. Sistem
demokrasi yang kini tengah dianut oleh masyarakat global, mengatur segala
konstruksi yang dapat menampung naluri berpolitik setiap individu maupun
kelompoknya. Ukuran demokrasi yang paling jelas adalah hak pilih universal: hak
setiap warga untuk memilih. Ya, pemilihan umum merupakan sebuah jalan bagi
demokrasi untuk pemenuhan kehendak berkuasa sang “zoon politicon”
tersebut.
Di
Indonesia, pemilihan umum atau yang biasa disebut pesta demokrasi, selalu
mendapat rating yang tinggi dalam agenda lima tahunan wajib bagi Negara yang menganut
sistem demokrasi ini. Maka, pada faham demokrasi ini, agenda Pemilu di
Indonesia bergagasan mengenai partisipasi rakyat dan partisipasi politiknya mempunyai
dasar ideologis bahwa rakyat berhak turut menentukan siapa yang akan menjadi
pemimpin yang akan mewakili mereka. Partisipasi politik merupakan
pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat.[1] Maka dalam hal ini partisipasi politik amatlah penting dalam rekonstruksi
sebuah sistem demokrasi yang berdaulat.
Organisasi massa
Nahdatul Ulama merupakan organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Pada
perkembangannya, Nahdatul Ulama dan warga Nahdliyyin selalu turut andil dalam
kancah perpolitikan di Indonesia. Partisipasi politik warga Nahdliyyin akan
selalu menjadi trending topic sebagai sebuah cek and balances serta ukuran
sejauh mana keterlibatan umat Islam di Indonesia dalam bingkai Pemilu. Data
yang disajikan pada tahun 2014 oleh Lembaga Survei Indo Barometer menyatakan
bahwa dari sekitar 185 juta pemilih, 33 persen menyatakan diri sebagai warga
Nahdliyyin.
Menurut almarhum K.H Abdurrahman Wahid dalam
seminar nasional ‘Re-orientasi Wawasan Keislaman Muhammadiyah dan NU’ di
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 1993 mengatakan, bahwa
perjalanan NU selama 32 tahun resmi menjadi organisasi politik dapat dikatakan
bahwa setengah hidup NU adalah berpolitik formal. Bila melihat kenyataan ini
maka wajar-wajar saja kalau impulse-impulse politik tetap ada di lingkungan NU,
tidak pernah mati dan malah mekar.[2]
Kontes
politik NU dari masa ke masa selalu dapat mengakomodir warga Nahdliyyin dalam
berpolitik. Pasca Kemerdekaan, NU yang telah membentuk wadahnya sendiri dalam
berpolitik pada tahun 1955 dapat meraup suara terbanyak ke-3 dalam Pemilu
tersebut. Puncaknya adalah ketika sejumlah elite PBNU (Pengurus Besar Nahdatul
Ulama) menyalurkan hasrat politiknya atas dasar pertimbangan mewadahi warga
Nahdliyyin dalam berpolitik. Maka lahirlah PKB (Partai Kebangkitan Bangsa)
walaupun NU sendiri telah mendeklarasikan untuk kembali kepada khittah NU 1926.
Pada tahun 1999, PKB keluar sebagai partai pemenang dengan K.H Abdurrahman
Wahid sebagai Presiden Indonesia ke-4.
Warga
Nahdliyyin selalu diberikan wadah dalam berpartisipasi politik oleh NU sebagai
Organisasi massa yang menaunginya. Namun dewasa ini, partisipasi politik warga
Nahdliyyin dalam segi konvensional, terlihat keengganan warga Nahdliyyin dalam
berdemokrasi ala kepartaian.[3]
Terlihat dari data yang disajikan oleh KPU dalam Pileg (Pemilihan Legislatif)
2014 yang menyebutkan bahwa PKB hanya meraup suara 9,8 persen. Hal ini amatlah
signifikan dilihat, jika dari 33 persen warga Nahdliyyin yang ada hanyalah 9
persen kecenderungan memilih PKB. Maka dapatlah kita simpulkan bahwa sekitar 24
persen suara warga Nahdliyyin tercecer entah kemana.
Secara
kultural, warga Nahdliyyin akan selalu berafiliasi dengan NU dalam setiap
partisipasi politiknya. Perubahan arah partisipasi politik warga Nahdliyyin
yang tak lagi kepartaian, dapat dianalisis dari teori Myron Weiner yang
berpandangan, terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan ke arah
partisipasi lebih luas dalam proses politik; meliputi modernisasi, perubahan
struktur kelas sosial, pengaruh kaum intelektual, konflik di antara
kelompok-kelompok politik dan komunikasi masa modern, konflik di antara
kelompok-kelompok politik, serta keterlibatan pemerintah yang luas dalam
berbagai bidang.[4]
Terkait hal tersebut
perlulah bagi NU me-reorientasikan kembali impulse-impulse politik bagi warga
Nahdliyyin dan partisipasi politiknya. NU sebagai organisasi massa Islam
terbesar di Indonesia merupakan tonggak kekuatan demokrasi serta kedaulatan
Indonesia, yang berasakan Islam pancasilais dan Islam ke-Indonesiaan.
[1] Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik Suatu Pengantar, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1998), h. 3.
[2] Abdurrahman Wahid, Reorientasi
Wawasan Keislaman NU dalam Politik, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1993), h. 91.
[3] Sebuah demokrasi yang berdasarkan
asas-asas kepartaian.
[4] Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia
dalam Prespektif Struktural Fungsional (Surabaya: SIC, 2002), h. 130-131.
0 komentar:
Posting Komentar