Selasa, 27 Mei 2014

Partisipasi Politik Warga Nahdliyyin



Warga Nahdliyyin dan Demokrasi Kepartaian

            Ketika manusia disebut sebagai zoon politicon, maka segala jenis kehendak untuk berkuasa yang ada di dalam diri manusia harus tereksistensikan dalam sebuah kontestasi politik. Sistem demokrasi yang kini tengah dianut oleh masyarakat global, mengatur segala konstruksi yang dapat menampung naluri berpolitik setiap individu maupun kelompoknya. Ukuran demokrasi yang paling jelas adalah hak pilih universal: hak setiap warga untuk memilih. Ya, pemilihan umum merupakan sebuah jalan bagi demokrasi untuk pemenuhan kehendak berkuasa sang “zoon politicon” tersebut. 

            Di Indonesia, pemilihan umum atau yang biasa disebut pesta demokrasi, selalu mendapat rating yang tinggi dalam agenda lima tahunan wajib bagi Negara yang menganut sistem demokrasi ini. Maka, pada faham demokrasi ini, agenda Pemilu di Indonesia bergagasan mengenai partisipasi rakyat dan partisipasi politiknya mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat berhak turut menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin yang akan mewakili mereka. Partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat.[1] Maka dalam hal ini partisipasi politik amatlah penting dalam rekonstruksi sebuah sistem demokrasi yang berdaulat.

Organisasi massa Nahdatul Ulama merupakan organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Pada perkembangannya, Nahdatul Ulama dan warga Nahdliyyin selalu turut andil dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Partisipasi politik warga Nahdliyyin akan selalu menjadi trending topic sebagai sebuah cek and balances serta ukuran sejauh mana keterlibatan umat Islam di Indonesia dalam bingkai Pemilu. Data yang disajikan pada tahun 2014 oleh Lembaga Survei Indo Barometer menyatakan bahwa dari sekitar 185 juta pemilih, 33 persen menyatakan diri sebagai warga Nahdliyyin. 

 Menurut almarhum K.H Abdurrahman Wahid dalam seminar nasional ‘Re-orientasi Wawasan Keislaman Muhammadiyah dan NU’ di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 1993 mengatakan, bahwa perjalanan NU selama 32 tahun resmi menjadi organisasi politik dapat dikatakan bahwa setengah hidup NU adalah berpolitik formal. Bila melihat kenyataan ini maka wajar-wajar saja kalau impulse-impulse politik tetap ada di lingkungan NU, tidak pernah mati dan malah mekar.[2]          
Kontes politik NU dari masa ke masa selalu dapat mengakomodir warga Nahdliyyin dalam berpolitik. Pasca Kemerdekaan, NU yang telah membentuk wadahnya sendiri dalam berpolitik pada tahun 1955 dapat meraup suara terbanyak ke-3 dalam Pemilu tersebut. Puncaknya adalah ketika sejumlah elite PBNU (Pengurus Besar Nahdatul Ulama) menyalurkan hasrat politiknya atas dasar pertimbangan mewadahi warga Nahdliyyin dalam berpolitik. Maka lahirlah PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) walaupun NU sendiri telah mendeklarasikan untuk kembali kepada khittah NU 1926. Pada tahun 1999, PKB keluar sebagai partai pemenang dengan K.H Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Indonesia ke-4.

            Warga Nahdliyyin selalu diberikan wadah dalam berpartisipasi politik oleh NU sebagai Organisasi massa yang menaunginya. Namun dewasa ini, partisipasi politik warga Nahdliyyin dalam segi konvensional, terlihat keengganan warga Nahdliyyin dalam berdemokrasi ala kepartaian.[3] Terlihat dari data yang disajikan oleh KPU dalam Pileg (Pemilihan Legislatif) 2014 yang menyebutkan bahwa PKB hanya meraup suara 9,8 persen. Hal ini amatlah signifikan dilihat, jika dari 33 persen warga Nahdliyyin yang ada hanyalah 9 persen kecenderungan memilih PKB. Maka dapatlah kita simpulkan bahwa sekitar 24 persen suara warga Nahdliyyin tercecer entah kemana. 

            Secara kultural, warga Nahdliyyin akan selalu berafiliasi dengan NU dalam setiap partisipasi politiknya. Perubahan arah partisipasi politik warga Nahdliyyin yang tak lagi kepartaian, dapat dianalisis dari teori Myron Weiner yang berpandangan, terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan ke arah partisipasi lebih luas dalam proses politik; meliputi modernisasi, perubahan struktur kelas sosial, pengaruh kaum intelektual, konflik di antara kelompok-kelompok politik dan komunikasi masa modern, konflik di antara kelompok-kelompok politik, serta keterlibatan pemerintah yang luas dalam berbagai bidang.[4]

            Terkait hal tersebut perlulah bagi NU me-reorientasikan kembali impulse-impulse politik bagi warga Nahdliyyin dan partisipasi politiknya. NU sebagai organisasi massa Islam terbesar di Indonesia merupakan tonggak kekuatan demokrasi serta kedaulatan Indonesia, yang berasakan Islam pancasilais dan Islam ke-Indonesiaan.

           
           
           
             


[1] Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik Suatu Pengantar, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), h. 3.
[2] Abdurrahman Wahid, Reorientasi Wawasan Keislaman NU dalam Politik, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1993), h. 91.
[3] Sebuah demokrasi yang berdasarkan asas-asas kepartaian.
[4] Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia dalam Prespektif Struktural Fungsional (Surabaya: SIC, 2002), h. 130-131.

0 komentar:

Posting Komentar