HAJI DALAM MASYARAKAT BETAWI
Oleh: Azami Sparrow
Hal unik dalam budaya masyarakat Betawi salah satunya adalah ibadah
haji. Melakukan ibadah haji merupakan sebuah hal yang sakral bagi masyarakat
Betawi. Perihal tersebut amatlah menarik untuk dikaji terutama dalam segi
social-budaya masyarakat Betawi.
Sunda Kelapa
merupakan sebuah tempat yang bercikal bakal menjadi sebuah kota metropolitan
nan megah, tempat dimana masyarakat Betawi mendapatkan nama Betawinya.[1] Etnis
Betawi yang merupakan percampuran dari berbagai macam etnis menjadikan
keistimewaan tersendiri bagi etnis Betawi, namun beberapa ahli berpendapat
bahwa orang-orang Betawi bukanlah campuran berbagai macam etnis melainkan telah
ada sejak zaman batu baru sebagaimana etnis Jawa dan lainnya. Pendapat ini
dikemukakan oleh Sagiman MD dan Uka Tjandrasasmita. Asal muasal orang-orang
Betawi yang menuai banyak perdebatan berbagai ahli inilah yang membuat
keistimewaan masyarakat Betawi lebih menarik. Berbagai budaya dan antropologi
masyarakatnya pun amatlah menarik, dimulai dari bahasa yang berjenis melayu
nyentrik hingga seni dan budaya masyarakatnya yang tak kalah dengan
masyarakat-masyarakat pada etnis lainnya.
Berhaji dalam
masyarakat Betawi bukanlah sesuatu hal yang dianggap biasa, esensi berhaji
dalam masyarakat Betawi amatlah mendalam dan bermakna. Dipengaruhi oleh latar
belakang keagamaan Islam yang kental dan kuat merupakan salah satu factor
nilai-nilai dari berhaji. Tradisi-tradisi yang amat khas dalam masyarakat
Betawi ketika hendak melaksanakan dan kepulangan mereka pasca berhaji,
mempunyai nilai serta kearifan local tersendiri. Namun seiring perkembangan
zaman dan realitas keadaan, masyarakat Betawi sedikit demi sedikit mulai
kehilangan polesan-polesan kearifan lokalnya. Arus ibu kota yang deras serta
dinamis membuat laju para transmigran mengalahkan populasi penduduk asli.
Transisi kebudayaan pun mulai terlihat, makna berhaji dalam masyarakat Betawi
dewasa ini, hanya sebagai formalitas tanpa ada ruh dan nilai-nilai lagi
didalamnya.
Sejarah
Masyarakat Betawi
Berbicara budaya serta kebudayaan masyarakat Betawi, terlebih
dahulu mengenal sejarah serta asal-usul masyarakat Betawi pada umumnya. Sebelum
abad ke-16, kerajaan Tarumanegara merupakan cikal-bakal terbentuknya masyarakat
Betawi. Diperkirakan bahwasanya masyarakat Betawi berawal juga dari masyarakat
Sunda kala itu. Namun pendapat-pendapat dari Sagiman MD dan Uka Tjandrasasmita
menentang pendapat tersebut. Dalam pendapat mereka menyatakan bahwa orang-orang
Betawi memang sudah ada sejak zaman batu baru layaknya masyarakat Jawa dan
Sunda terdahulu. Pendapat
Sagiman MD tersebut senada dengan Uka Tjandarasasmita yang mengeluarkan
monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga
Kerajaan Pajajaran (1977)" mengungkapkan bahwa Penduduk Asli Jakarta telah
ada pada sekitar tahun 3500-3000 sebelum masehi.[2]
Banyak perbedaan-perbedaan pendapat mengenai asal-muasal orang-orang Betawi.
Terdapat pula pendapat dan teori yang dikemukakan oleh Antropolog Universitas Indonesia yaitu Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA
yang memperkirakan etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara
tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk
Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Pada zaman kolonial Belanda,
pemerintah selalu melakukan sensus yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan
etnisnya.[3]
Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815 didalam hasilnya terdapat
penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan
mengenai golongan etnis Betawi. Keberadaan rumah Bugis di bagian
utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada
awal abad ke 20 ini masih terdapat
beberapa rumah seperti ini di daerah Kota. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan
hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang
Arab, Jawa, Sunda, Sulawesi Selatan, Sumbawa, Ambon dan Melayu. Pada tahun
1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul
sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas
penduduk Batavia pada waktu itu.
Teori lainnya
dikemukakan juga oleh Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi
Suparlan. Ia menyatakan, bahwasanya kesadaran sebagai orang Betawi pada awal
pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam konteks social
masyarakkat pada waktu itu tidak menyatakan bahwa mereka merupakan berasal dari
etnis Betawi. Namun mereka lebih menekankan primordial lokalitas tempat tinggal
mereka yang pada akhirnya timbullah rasa kesatuan dan pada akhirnya masyarakat
Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap
orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang
Betawi.
Ada juga yang
berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam
benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar
benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar
benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umumnya
digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa Nasional. Hal ini
terjadi karena pada abad ke-6, dimana kerajaan Sriwijaya menyerang pusat
kerajaan Tarumanegara yang terletak di bagian utara Jakarta sehingga pengaruh
bahasa Melayu sangat kuat disini. Selain itu, perjanjian antara Surawisesa
(raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan
Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa yang mengakibatkan
perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang
menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir perpaduan budaya
yang kemudian berakulturasi dengan budaya lokal. Lahirlah musik keroncong. Sejak
akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan pada tahun 1945, Jakarta
dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi dalam artian apapun
juga tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, Suku Betawi mencakup kurang
lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta
penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan
ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, keberadaan
suku Betawi tidaklah pernah tergusur atau digusur dari Jakarta, karena proses
asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus
berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah eksistensi suku Betawi hadir
di bumi Nusantara.[4]
Keutamaan Haji dan Tradisi Masyarakat Betawi
Biaya
ongkos haji yang mahal bukanlah halangan atau permasalahan yang serius dalam
melaksanakan ibadah haji bagi masyarakat Betawi pada umumnya. Demi
terlaksananya harapan serta dorongan kesempurnaan dalam Islam, harta benda yang
dimiliki tidaklah menjadi kesayangan yang berarti jika hendak melaksanakan
rukun Islam yang ke-5 ini bagi orang-orang Betawi. Pelaksanaan ibadah haji bagi orang Betawi memiliki arti
penting dan sakral. Orang Betawi yang agamis menyadari betul makna melakukan
ibadah haji, yaitu menyempurnakan rukun Islam. Untuk sampai pada tahap mampu
melaksanakan ibadah haji, tentu saja proses panjang telah dilaluinya. Seseorang
yang ingin berhaji merupakan keluarga
yang mapan, artinya jika ada niat melakukan ibadah haji, ia tak bermasalah.
Seseorang yang ingin berhaji tak akan menyengsarakan diri dan keluarganya.
Persiapan materil dan spiritual tak diragukan lagi. Seseorang yang ingin berhaji
pastilah orang kaya, meski profesinya sebagai petani, pedagang, atau lainnya.
Atau ia pasti seorang yang tekadnya sangat besar untuk melaksanakan ibadah
haji, meski status social ekonominya tidak terlalu tinggi.[5] Ongkos untuk melaksanakan ibadah haji dapat dikatakan
tidak murah bahkan terbilang amatlah mahal. Pada tahun 1960 dan 1970-an, arus
transmigrasi penduduk ke ibu kota tidak terelakkan. Pembangunan Jakarta menjadi
kota metropolitan pun mulai pada tahap puncaknya. Harga-harga tanah pada waktu
itu merangsek naik, maka orang-orang Betawi yang mempunyai tekad untuk berhaji
menjual tanah-tanah mereka demi melaksanakan rukun Islam yang terakhir ini. Salah satu hasil penjualan tanah itu dibelikan qutum. Qutum adalah istilah yang artinya sama dengan tiket pergi
haji pada waktu itu. Tersebab pergi haji menjual tanah, maka mulai beredar di
masyarakat istilah haji gusuran. Apapun istilah yang beredar di masyarakat,
orang-orang Betawi tidakk perduli. Bagi orang Betawi, telah tertanam melekat
dalam jiwanya semangat melaksanakan perintah agama dengan sempurna. Harta benda,
apapun jenisnya tidak akan dibawa mati. Amal shalehlah yang senantiasa setia
mengikuti kita sampai kemanapun. Pepatah Betawi yang terkenal yang saya kutip
adalah, “Segale harta bende nggak bakalan dibawa mati”, begitu pepatahnya.
Tradisi Sebelum keberangkatan
orang yang akan menunaikan ibadah haji yakni melaksanakan acara yang disebut pertemuan
haji. Sanak-saudara dan
tetangga diundang untuk menggelar acara maulid, tahlilan, mendengarkan ceramah ibadah haji dan makan
bersama. Pada acara itu para tamu biasanya memberikan bekal berupa uang yang
nantinya uang itu akan dibawa atau
ditinggalkan untuk kebutuhan keluarga di rumah. Ada juga kekhasan lain yang
barangkali tidak dilakukan di tempat lain yaitu berupa menitipkan pas foto
kepada orang yang akan berangkat haji. Paradigma yang ada dalam masyarakat
Betawi ini amatlah unik, dikarenakan menitipkan pas foto kepada orang yang akan
berangkat haji memberi pesan tersendiri, yang berarti foto orang yang
menititipkan dibawa berhaji oleh orang yang dititipkan maka setelah foto yang
tertitipkan disana pada tahun berikutnya jika dikabulkan orang tersebutlah yang
akan menyusul fotonya yang terlebih dahulu telah sampai disana. orang yang akan
melaksanakan ibadah haji, orang Betawi menyebutnya pegi
belayar karena berangkat dan
pulang menggunakan kapal layar dianggap sebagai orang yang sudah dimiliki oleh
Allah. Keluarga atau orang-orang di kampung sudah memaafkan, mengikhlaskan, dan
meridlakan kepergiannya layaknya kepergian jenazah. Itu sebabnya orang Betawi
melepas keberangkatan beribadah haji dengan ekspresi kepasrahan dan suasana
yang sakral. Karena dianggap perjalanan hidup-mati lagi pula memakan waktu yang
cukup lama (6 bulan pergi-pulang menggunakan kapal laut), maka dilepas dengan
pembacaan shalawat dustur kemudian diazankan dan diiqomatkan. Dikarenakan
mengunakan kapal laut merupakan perjalanan yang panjang, maka perlengkapan yang dibawapun tidak
tanggung-tanggung. Ada yang bawa cobek lengkap dengan isinya. Ada yang bawa
ikan gabus kering atau dendeng. Tidak dilupakan pula duit
gobangan untuk kerokan. Pokoknya apapun dapat dibawa. Semua itu dimasukkan
ke dalam kotak besar yang disebut sahara.[6]
Selama proses
pelaksanaan ibadah haji, keluarga yang ditinggalkan di rumah hanya
berharap-harap cemas, apakah ayah-ibunya atau sanak saudaranya selamat dalam
melaksanakan ibadah haji. Ini karena alat komunikasi ketika itu tidak secanggih
saat ini. Sekarang ini setiap rumah memiliki pesawat telepon, bahkan hampir
semua orang sudah mempunyai hand
phone sehingga dapat
berkomunikasi setiap saat. Dan selama itu pula, keluarga di rumah yang
ditinggalkan melaksanakan ratiban atau tahlilan tiap malam Jum’at untuk mendoakan
keselamatan anggota keluarganya yang sedang melaksanakan ibadah haji.
Tradisi unik lainnya
adalah ketika menyambut kedatangan orang yang pulang berhaji. Seminggu setelah lebaran haji suasana kampung akan kembali semarak. Pada moment
ini warga kampung terutama keluarga yang sanak saudaranya menunaikan ibadah
haji akan sibuk mempersiapkan kepulangan. Hiruk pikuk itu ditambah dengan
penyiapan pada ruang tengah rumah yang sudah digelar tikar atau karpet serta
disiapkan kasur di atasnya. Disiapkan juga masakan khas Betawi terutama sayur
asem, pecak ikan gurame dan makanan segar lainnya yang tidak dijumpai di tanah
suci. Sementara rumah ditata, sebagian keluarga pergi menjemput ke pelabuhan
Tanjung Priok. Memang kepulangan jamaah haji sangat ditunggu-tunggu. Ketika
jamaah haji tiba di rumah, maka akan
dipasang petasan. Makna pembakaran petasan ini sebagai tanda kepada warga
kampung bahwa bapak dan ibu haji sudah tiba dirumahnya dengan selamat dan sehat
wal’afiat. Maka tetangga datang berbondong-bondong untuk mengucapkan selamat.
Selain itu para tetangga ini mengarapkan oleh-oleh yang dibawa dari tanah suci.
Oleh-oleh yang dibawa serta dibagi-bagikan biasanya tidak pernah luput adalah
air zamzam, siwak, pacar, sipat mata, korma, tasbih, sajadah, kacang Arab,
kismis, rumput fatimah, dan lain-lain. Suasana kunjungan tetangga atau warga
kampung ini baru akan sepi setelah dua minggu. Dan tradisi tersendiri bagi
orang Betawi, bahwasanya jamaah haji yang baru pulang tidak boleh keluar rumah
yang sifatnya santai atau nongkrong-nongkrong sebelum empat puluh hari bergulir.[7]
Haji dan Status
Masyarakat Betawi
Dalam
perspektif masyarakat Betawi, orang-orang Betawi yang telah melaksankan ibadah
haji tingkatan status sosialnya dalam masyarakat menanjak naik daripada status
sebelum berangkat menunaikan haji. Pandangan orang-orang Betawi terhadap orang
yang telah berhaji dapat diuraikan kepada penanaman keislaman yang kuat dalam
diri masyarakat Betawi. Status soisal yang disematkan dengan panggilan “Haji”
inilah yang menurut pandangan masyarakat Betawi merupakan orang-orang yang
telah menamatkan rukun serta kesempurnaan dalam Islamnya. Status social yang
yang dianggap terhormat inilah yang menjadikan salah satu factor-faktor
pendorong mengenai keutamaan orang-orang berhaji dalam masyarakat Betawi.
Kecenderungan
perubahan sikap serta memang ketulusan hati bagi orang-orang berhaji yang
dianggap “Mabrur” oleh orang-orang, menjadikan memang orang-orang yang telah
mendapat gelar “Haji” ini merupakan orang yang baik, dermawan serta pemahaman
akan keagamaannya mumpuni. Banyak kisah-kisah mengenai tokoh-tokoh “Haji”
Betawi yang terkenal akan kedermawanannya serta perjuangannya yang pantang
dengan harta serta berdiri dengan keikhlasan didalamnya. Namun, yang menjadi
gejala serta menimbulkan kemarahan oleh sebagian masyarakat Betawi ialah
munculnya serial-serial dalam film bahwa tokoh “Haji” pada masyarakat Betawi
cenderung tidak mencerminkan terhadap realitanya. Disana digambarkan bahwa
seorang “Haji” adalah tokoh yang pelit dan kurang berakhlakul karimah. Padahal
esensi yang amat mendalam pada segi berhaji masyarakat Betawi amatlah baik dan
menunjukkan kearifan lokal yang tidaklah sembarangan.
Haji dan status
masyarakat Betawi amatlah berkolerasi serta berkesinambungan. Naiknya status
stratifikasi social seseorang bukanlah hal yang utama dari esensi berhaji
masyarakat Betawi. Status ini hanyalah sebuah apresiasi oleh orang-orang agar
semangat orang-orang yang lainnya bisa terlecut dan terjaga. Didalam status ini
pula terdapat jati diri serta kearifan local yang dapat kita temui dalam
masyarakat Betawi. Nilai-nilai keislaman yang telah melekat serta keteguhan
dalam beragama dapat dilihat dari tradisi serta nilai-nilai sakral dalam
berhaji.
0 komentar:
Posting Komentar