Kamis, 13 Februari 2014

Budaya Haji dalam Masyarakat Beatawi


HAJI DALAM MASYARAKAT BETAWI
Oleh: Azami Sparrow



            Hal unik dalam budaya masyarakat Betawi salah satunya adalah ibadah haji. Melakukan ibadah haji merupakan sebuah hal yang sakral bagi masyarakat Betawi. Perihal tersebut amatlah menarik untuk dikaji terutama dalam segi social-budaya masyarakat Betawi.
            Sunda Kelapa merupakan sebuah tempat yang bercikal bakal menjadi sebuah kota metropolitan nan megah, tempat dimana masyarakat Betawi mendapatkan nama Betawinya.[1] Etnis Betawi yang merupakan percampuran dari berbagai macam etnis menjadikan keistimewaan tersendiri bagi etnis Betawi, namun beberapa ahli berpendapat bahwa orang-orang Betawi bukanlah campuran berbagai macam etnis melainkan telah ada sejak zaman batu baru sebagaimana etnis Jawa dan lainnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Sagiman MD dan Uka Tjandrasasmita. Asal muasal orang-orang Betawi yang menuai banyak perdebatan berbagai ahli inilah yang membuat keistimewaan masyarakat Betawi lebih menarik. Berbagai budaya dan antropologi masyarakatnya pun amatlah menarik, dimulai dari bahasa yang berjenis melayu nyentrik hingga seni dan budaya masyarakatnya yang tak kalah dengan masyarakat-masyarakat pada etnis lainnya.
            Berhaji dalam masyarakat Betawi bukanlah sesuatu hal yang dianggap biasa, esensi berhaji dalam masyarakat Betawi amatlah mendalam dan bermakna. Dipengaruhi oleh latar belakang keagamaan Islam yang kental dan kuat merupakan salah satu factor nilai-nilai dari berhaji. Tradisi-tradisi yang amat khas dalam masyarakat Betawi ketika hendak melaksanakan dan kepulangan mereka pasca berhaji, mempunyai nilai serta kearifan local tersendiri. Namun seiring perkembangan zaman dan realitas keadaan, masyarakat Betawi sedikit demi sedikit mulai kehilangan polesan-polesan kearifan lokalnya. Arus ibu kota yang deras serta dinamis membuat laju para transmigran mengalahkan populasi penduduk asli. Transisi kebudayaan pun mulai terlihat, makna berhaji dalam masyarakat Betawi dewasa ini, hanya sebagai formalitas tanpa ada ruh dan nilai-nilai lagi didalamnya.
Sejarah Masyarakat Betawi
            Berbicara budaya serta kebudayaan masyarakat Betawi, terlebih dahulu mengenal sejarah serta asal-usul masyarakat Betawi pada umumnya. Sebelum abad ke-16, kerajaan Tarumanegara merupakan cikal-bakal terbentuknya masyarakat Betawi. Diperkirakan bahwasanya masyarakat Betawi berawal juga dari masyarakat Sunda kala itu. Namun pendapat-pendapat dari Sagiman MD dan Uka Tjandrasasmita menentang pendapat tersebut. Dalam pendapat mereka menyatakan bahwa orang-orang Betawi memang sudah ada sejak zaman batu baru layaknya masyarakat Jawa dan Sunda terdahulu. Pendapat Sagiman MD tersebut senada dengan Uka Tjandarasasmita yang mengeluarkan monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977)" mengungkapkan bahwa Penduduk Asli Jakarta telah ada pada sekitar tahun 3500-3000 sebelum masehi.[2] Banyak perbedaan-perbedaan pendapat mengenai asal-muasal orang-orang Betawi. Terdapat pula pendapat dan teori yang dikemukakan oleh Antropolog Universitas Indonesia yaitu Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA yang memperkirakan etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Pada zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya.[3] Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815 didalam hasilnya terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan
mengenai golongan etnis Betawi. Keberadaan rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat
beberapa rumah seperti ini di daerah Kota. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab, Jawa, Sunda, Sulawesi Selatan, Sumbawa, Ambon dan Melayu. Pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang  Betawi  sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia pada waktu itu.
            Teori lainnya dikemukakan juga oleh Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan. Ia menyatakan, bahwasanya kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam konteks social masyarakkat pada waktu itu tidak menyatakan bahwa mereka merupakan berasal dari etnis Betawi. Namun mereka lebih menekankan primordial lokalitas tempat tinggal mereka yang pada akhirnya timbullah rasa kesatuan dan pada akhirnya masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
            Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umumnya digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa Nasional. Hal ini terjadi karena pada abad ke-6, dimana kerajaan Sriwijaya menyerang pusat kerajaan Tarumanegara yang terletak di bagian utara Jakarta sehingga pengaruh bahasa Melayu sangat kuat disini. Selain itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa yang mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir perpaduan budaya yang kemudian berakulturasi dengan budaya lokal. Lahirlah musik keroncong. Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan pada tahun 1945, Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi dalam artian apapun juga tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, Suku Betawi mencakup kurang lebih 22,9  persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, keberadaan suku Betawi tidaklah pernah tergusur atau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah eksistensi suku Betawi hadir di bumi Nusantara.[4]
Keutamaan Haji dan Tradisi Masyarakat Betawi
            Biaya ongkos haji yang mahal bukanlah halangan atau permasalahan yang serius dalam melaksanakan ibadah haji bagi masyarakat Betawi pada umumnya. Demi terlaksananya harapan serta dorongan kesempurnaan dalam Islam, harta benda yang dimiliki tidaklah menjadi kesayangan yang berarti jika hendak melaksanakan rukun Islam yang ke-5 ini bagi orang-orang Betawi. Pelaksanaan ibadah haji bagi orang Betawi memiliki arti penting dan sakral. Orang Betawi yang agamis menyadari betul makna melakukan ibadah haji, yaitu menyempurnakan rukun Islam. Untuk sampai pada tahap mampu melaksanakan ibadah haji, tentu saja proses panjang telah dilaluinya. Seseorang yang ingin berhaji  merupakan keluarga yang mapan, artinya jika ada niat melakukan ibadah haji, ia tak bermasalah. Seseorang yang ingin berhaji tak akan menyengsarakan diri dan keluarganya. Persiapan materil dan spiritual tak diragukan lagi. Seseorang yang ingin berhaji pastilah orang kaya, meski profesinya sebagai petani, pedagang, atau lainnya. Atau ia pasti seorang yang tekadnya sangat besar untuk melaksanakan ibadah haji, meski status social ekonominya tidak terlalu tinggi.[5] Ongkos untuk melaksanakan ibadah haji dapat dikatakan tidak murah bahkan terbilang amatlah mahal. Pada tahun 1960 dan 1970-an, arus transmigrasi penduduk ke ibu kota tidak terelakkan. Pembangunan Jakarta menjadi kota metropolitan pun mulai pada tahap puncaknya. Harga-harga tanah pada waktu itu merangsek naik, maka orang-orang Betawi yang mempunyai tekad untuk berhaji menjual tanah-tanah mereka demi melaksanakan rukun Islam yang terakhir ini. Salah satu hasil penjualan tanah itu dibelikan qutum. Qutum adalah istilah yang artinya sama dengan tiket pergi haji pada waktu itu. Tersebab pergi haji menjual tanah, maka mulai beredar di masyarakat istilah haji gusuran. Apapun istilah yang beredar di masyarakat, orang-orang Betawi tidakk perduli. Bagi orang Betawi, telah tertanam melekat dalam jiwanya semangat melaksanakan perintah agama dengan sempurna. Harta benda, apapun jenisnya tidak akan dibawa mati. Amal shalehlah yang senantiasa setia mengikuti kita sampai kemanapun. Pepatah Betawi yang terkenal yang saya kutip adalah, “Segale harta bende nggak bakalan dibawa mati”, begitu pepatahnya.
             Sementara itu, jika berbicara mengenai tradisi berhaji dalam masyarakat betawi, banyak tradisi yang dapat dikaji serta digali akan pemaknaannya. Tradisi-tradisi yang berkembang pada masyarakat Betawi ketika berhaji membawa kekhasan tersendiri terhadap tradisi-tradisi etnis lainnya. Dimulai dari tradisi pelepasan orang yang hendak melaksanakan ibadah haji hingga tradisi menyambut kepulangan pak Haji baru dalam lingkungan mereka. Kearifan lokal masyarakat Betawi yang masih dipegang teguh oleh masyarakatnya hingga kini walaupun tidak sepenuhnya yang disebabkan oleh arus kota Jakarta yang metropolitan. Namun kearifan local inilah yang membawa kemajuan serta eksistensi masyarakat Betawi yang berkembang sampai saat ini.
            Tradisi Sebelum keberangkatan orang yang akan menunaikan ibadah haji yakni melaksanakan acara yang disebut pertemuan haji. Sanak-saudara dan tetangga diundang untuk menggelar acara maulid, tahlilan,  mendengarkan ceramah ibadah haji dan makan bersama. Pada acara itu para tamu biasanya memberikan bekal berupa uang yang nantinya uang itu akan  dibawa atau ditinggalkan untuk kebutuhan keluarga di rumah. Ada juga kekhasan lain yang barangkali tidak dilakukan di tempat lain yaitu berupa menitipkan pas foto kepada orang yang akan berangkat haji. Paradigma yang ada dalam masyarakat Betawi ini amatlah unik, dikarenakan menitipkan pas foto kepada orang yang akan berangkat haji memberi pesan tersendiri, yang berarti foto orang yang menititipkan dibawa berhaji oleh orang yang dititipkan maka setelah foto yang tertitipkan disana pada tahun berikutnya jika dikabulkan orang tersebutlah yang akan menyusul fotonya yang terlebih dahulu telah sampai disana. orang yang akan melaksanakan ibadah haji, orang Betawi menyebutnya pegi belayar karena berangkat dan pulang menggunakan kapal layar dianggap sebagai orang yang sudah dimiliki oleh Allah. Keluarga atau orang-orang di kampung sudah memaafkan, mengikhlaskan, dan meridlakan kepergiannya layaknya kepergian jenazah. Itu sebabnya orang Betawi melepas keberangkatan beribadah haji dengan ekspresi kepasrahan dan suasana yang sakral. Karena dianggap perjalanan hidup-mati lagi pula memakan waktu yang cukup lama (6 bulan pergi-pulang menggunakan kapal laut), maka dilepas dengan pembacaan shalawat dustur  kemudian diazankan dan diiqomatkan. Dikarenakan mengunakan kapal laut merupakan perjalanan yang panjang,  maka perlengkapan yang dibawapun tidak tanggung-tanggung. Ada yang bawa cobek lengkap dengan isinya. Ada yang bawa ikan gabus kering atau dendeng. Tidak dilupakan pula duit gobangan untuk kerokan. Pokoknya apapun dapat dibawa. Semua itu dimasukkan ke dalam kotak besar yang disebut sahara.[6]
            Selama proses pelaksanaan ibadah haji, keluarga yang ditinggalkan di rumah hanya berharap-harap cemas, apakah ayah-ibunya atau sanak saudaranya selamat dalam melaksanakan ibadah haji. Ini karena alat komunikasi ketika itu tidak secanggih saat ini. Sekarang ini setiap rumah memiliki pesawat telepon, bahkan hampir semua orang sudah mempunyai hand phone sehingga dapat berkomunikasi setiap saat. Dan selama itu pula, keluarga di rumah yang ditinggalkan melaksanakan ratiban atau tahlilan tiap malam Jum’at untuk mendoakan keselamatan anggota keluarganya yang sedang melaksanakan ibadah haji.
            Tradisi unik lainnya adalah ketika menyambut kedatangan orang yang pulang berhaji. Seminggu setelah lebaran haji suasana kampung akan kembali semarak. Pada moment ini warga kampung terutama keluarga yang sanak saudaranya menunaikan ibadah haji akan sibuk mempersiapkan kepulangan. Hiruk pikuk itu ditambah dengan penyiapan pada ruang tengah rumah yang sudah digelar tikar atau karpet serta disiapkan kasur di atasnya. Disiapkan juga masakan khas Betawi terutama sayur asem, pecak ikan gurame dan makanan segar lainnya yang tidak dijumpai di tanah suci. Sementara rumah ditata, sebagian keluarga pergi menjemput ke pelabuhan Tanjung Priok. Memang kepulangan jamaah haji sangat ditunggu-tunggu. Ketika jamaah haji tiba  di rumah, maka akan dipasang petasan. Makna pembakaran petasan ini sebagai tanda kepada warga kampung bahwa bapak dan ibu haji sudah tiba dirumahnya dengan selamat dan sehat wal’afiat. Maka tetangga datang berbondong-bondong untuk mengucapkan selamat. Selain itu para tetangga ini mengarapkan oleh-oleh yang dibawa dari tanah suci. Oleh-oleh yang dibawa serta dibagi-bagikan biasanya tidak pernah luput adalah air zamzam, siwak, pacar, sipat mata, korma, tasbih, sajadah, kacang Arab, kismis, rumput fatimah, dan lain-lain. Suasana kunjungan tetangga atau warga kampung ini baru akan sepi setelah dua minggu. Dan tradisi tersendiri bagi orang Betawi, bahwasanya jamaah haji yang baru pulang tidak boleh keluar rumah yang sifatnya santai atau nongkrong-nongkrong sebelum empat puluh hari bergulir.[7]

Haji dan Status Masyarakat Betawi
            Dalam perspektif masyarakat Betawi, orang-orang Betawi yang telah melaksankan ibadah haji tingkatan status sosialnya dalam masyarakat menanjak naik daripada status sebelum berangkat menunaikan haji. Pandangan orang-orang Betawi terhadap orang yang telah berhaji dapat diuraikan kepada penanaman keislaman yang kuat dalam diri masyarakat Betawi. Status soisal yang disematkan dengan panggilan “Haji” inilah yang menurut pandangan masyarakat Betawi merupakan orang-orang yang telah menamatkan rukun serta kesempurnaan dalam Islamnya. Status social yang yang dianggap terhormat inilah yang menjadikan salah satu factor-faktor pendorong mengenai keutamaan orang-orang berhaji dalam masyarakat Betawi.
            Kecenderungan perubahan sikap serta memang ketulusan hati bagi orang-orang berhaji yang dianggap “Mabrur” oleh orang-orang, menjadikan memang orang-orang yang telah mendapat gelar “Haji” ini merupakan orang yang baik, dermawan serta pemahaman akan keagamaannya mumpuni. Banyak kisah-kisah mengenai tokoh-tokoh “Haji” Betawi yang terkenal akan kedermawanannya serta perjuangannya yang pantang dengan harta serta berdiri dengan keikhlasan didalamnya. Namun, yang menjadi gejala serta menimbulkan kemarahan oleh sebagian masyarakat Betawi ialah munculnya serial-serial dalam film bahwa tokoh “Haji” pada masyarakat Betawi cenderung tidak mencerminkan terhadap realitanya. Disana digambarkan bahwa seorang “Haji” adalah tokoh yang pelit dan kurang berakhlakul karimah. Padahal esensi yang amat mendalam pada segi berhaji masyarakat Betawi amatlah baik dan menunjukkan kearifan lokal yang tidaklah sembarangan.
            Haji dan status masyarakat Betawi amatlah berkolerasi serta berkesinambungan. Naiknya status stratifikasi social seseorang bukanlah hal yang utama dari esensi berhaji masyarakat Betawi. Status ini hanyalah sebuah apresiasi oleh orang-orang agar semangat orang-orang yang lainnya bisa terlecut dan terjaga. Didalam status ini pula terdapat jati diri serta kearifan local yang dapat kita temui dalam masyarakat Betawi. Nilai-nilai keislaman yang telah melekat serta keteguhan dalam beragama dapat dilihat dari tradisi serta nilai-nilai sakral dalam berhaji.


           














0 komentar:

Posting Komentar