PERGULATAN ISLAM DAN DEMOKRASI
Oleh: *Abdul Jalil
ABSTRAK
Sejak
era demokrasi diterima sebagai sebuah sistem kehidupan berpolitik, terjadi
diskursus yang tajam antara Islam dan demokrasi. Padahal jika dilihat dari
perspektif doktrin, Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda. Namun
demikian, secara substantif ada prinsip-prinsip demokrasi yang kompatibel
dengan ajaran Islam, yakni prinsip keadilan, kesetaraan, kebebasan berpendapat,
beragama dan berkeyakinan, yang kemudian menjadi prinsip universal demokrasi.
Sebagaimana digambarkan dalam sejarah, Rasulullah saw mempraktikkan Negara
Madinah dalam prinsip-prinsip demokratis. Beliau meletakkan fondasi dan
pilar-pilar demokrasi itu di dalam dokumen tertulis, yaitu Piagam Madinah, yang
merupakan konsensus bersama antara berbagai golongan, baik ras, suku maupun
agama. Sistem demokrasi demikian bisa disebut sebagai transendental, karena
kelangsungan sistem ini bukan berlandaskan kepentingan dan kekuasaan manusia
semata, namun juga mengelaborasi nilai-nilai dan ajaran Ketuhanan yang
termaktub dalam al-Qur’an sebagai instrumen kemaslahatan. Piagam Madinah telah
mewariskan kepada kita prinsip-prinsip yang kokoh dalam menegakkan masyarakat
pluralistik yang harmonis.
Pendahuluan
Istilah demokrasi, bila dikaitkan
dengan kata democrate (Prancis), democratia (Latin) dan demokratia (Yunani)
adalah konsep klasik untuk menunjukkan adanya sistem kekuasaan
dan pemerintahan partisipatif serta konstitusi yang sah.
Demokrasi bukanlah suatu doktrin mati, melainkan sesuatu yang terbuka untuk
diperdebatkan. Di kalangan para pemikir muslim, persoalan demokrasi telah
menjadi “wacana” yang hingga kini masih hangat diperbincangkan. Paling tidak,
muncul pertanyaan “Apakah Islam kompatibel (sesuai) dengan demokrasi?”.
Dari sudut metodologis,
mengkomparasikan antara Islam dan demokrasi tidak dapat dibenarkan, karena
Islam merupakan agama[1]
dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan muamalah
manusia. Sedangkan demokrasi hanyalah sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme
kerja sama antar anggota masyarakat serta simbol yang diharapkan membawa
nilai-nilai positif. Dengan demikian, secara doktrinal, Islam dan demokrasi
tidak mempunyai hubungan khusus, baik istilah, format pelaksanaan
maupun sejarahnya. Islam secara mutlak diturunkan Allah SWT melalui RasulNya
Muhammad saw, adapun demokrasi merupakan produk manusia yang
pencetus idenya seorang filosof Yunani bernama Solon Kleistenes (hidup kurang
lebih 600 tahun SM). Ketika itu, Solon mengadakan reformasi terhadap sistem[2]
pemerintahan di kota Athena.
Akan tetapi secara substantif, Islam
dan demokrasi mempunyai keterkaitan dalam nilai-nilai dasar berupa
asas kebebasan, keadilan dan kerja sama.[3]
Namun demikian, pada kenyataannya tidak semua kalangan umat Islam menerima
sistem demokrasi. Sebagian mereka tidak memandang demokrasi sekarang ini
sebagai sistem pemerintahan yang berlandaskan kepada kebebasan, kerja sama
politik, pluralism dan sebagainya, tetapi memandangnya sebagai rumusan
bagi konsep Barat yang mempengaruhi pemikiran umat Islam. Sikap seperti
ini merupakan dampak psikologis dari pengalaman masa lalu sebagian kalangan
umat Islam terhadap Barat. Tegasnya, reaksi negatif tersebut sebagai ungkapan dari
penolakan secara radikal terhadap kolonialisme Eropa, dan
pembelaan terhadap Islam dalam upaya mengurangi ketergantungan umat Islam
terhadap Negara-negara Barat.[4]
Peristiwa-peristiwa kekerasan,
penindasan, pemojokan serta ketidakadilan negara-negara Barat dan Amerika
Serikat terhadap negara-negara Muslim yang seringkali terjadi, bahkan hingga
sekarang seperti yang menimpa Palestina, Irak, Libya dan Afganistan, menjadi
referensi bagi sebagian kalangan umat Islam untuk menolak keberadaan sistem
demokrasi.
Wawasan
Tentang Demokrasi
Demokrasi berasal dari kata demos
yang berarti rakyat, dan kratos/kratein yang artinya kekuasaan. Maka demokrasi
dapat diartikan “rakyat berkuasa” atau government of rule by people”.[5]
Dengan demikian, demokrasi berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat; dengan menjalankan peraturan yang dibuat sendiri oleh rakyat.
Lahirnya demokrasi bermula dari
adanya para penguasa di Eropa (abad pertengahan) yang beranggapan penguasa
adalah wakil Tuhan di bumi dan berhak memerintah rakyat
berdasarkan kekuasaan Tuhan. Mereka beranggapan bahwa Tuhan telah memberi kewenangan
kepada mereka membuat hukum dan menerapkannya. Dengan dasar inilah mereka
menzhalimi dan menguasai rakyat, sebagaimana pemilik budak menguasai budaknya.
Lalu timbullah pergolakan antara penguasa Eropa dengan rakyatnya.
Para filosof dan pemikir mulai
membahas masalah pemerintahan serta menyusun konsep sistem pemerintahan
rakyat, yaitu sistem demokrasi di mana rakyat menjadi sumber
kekuasaan dalam sistem tersebut. Penguasa mengambil sumber kekuasaannya
dari rakyat yang menjadi pemilik kedaulatan. Rakyat adalah ibarat pemilik budak
yang berhak membuat peraturan yang akan mereka terapkan, serta menjalankannya
sesuai dengan keinginannya. Rakyat berhak pula mengangkat penguasa untuk
memerintah rakyat, karena posisinya sebagai wakil rakyat dengan
peraturan yang dibuat oleh rakyat. Oleh karena itu, sumber kemunculan sistem
demokrasi seluruhnya adalah manusia, dan tidak ada hubungannya sama sekali
dengan wahyu atau agama.[6]
Salah satu sifat demokrasi adalah
kemampuannya untuk menghilangkan bentuk-bentuk kekuasaan yang absolut, karena
paham absolutism menyebabkan kediktatoran. Untuk mengatasi hal
tersebut, maka lahirlah konsep Trias Politika yang dicetuskan
oleh seorang filosof dari Prancis, Montesquieu. Konsep inilah yang
disebut-sebut sebagai ukuran demokratis tidaknya suatu negara.
Menurut Trias Politika, kekuasaan
negara terdiri dari tiga macam: pertama, kekuasaan legislatif
(yang membuat undang-undang); kedua, kekuasaan eksekutif (yang
melaksanakan undang-undang); ketiga, kekuasaan yudikatif (yang
mengadili atas pelanggaran undang-undang).
Konsep Trias Politika merupakan ide
pokok dalam demokrasi Barat yang mulai berkembang di Eropa antara abad ke-17
sampai dengan abad ke-18 M. Konsep tersebut untuk pertama kali dikemukakan oleh
John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1989-1755). Pembagian kekuasaan menurut
Trias Politika menggambarkan bahwa rakyatlah yang menjadi sumber kekuasaan legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Dengan demikian, rakyatlah yang menetapkan peraturan
dan undang-undang, menentukan para hakim serta mengangkat para penguasa. Dari
sini tampak jelas bahwa konsep Trias Politika bertujuan untuk memelihara kebebasan
politik warga negara yang hilang karena perilaku penguasa yang
bertindak sewenang-wenang. Maka kebebasan menjadi prinsip yang harus diwujudkan
oleh demokrasi bagi setiap individu rakyat, yaitu: kebebasan beragama,
kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan dan kebebasan bertingkah laku.
Problematika
Demokrasi: Analisis Teks al-Qur’an
Demokrasi adalah istilah Barat yang
digunakan untuk menunjukkan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam hal
ini, rakyat dianggap penguasa mutlak dan pemilik kedaulatan yang berhak
mengatur urusannya sendiri. Rakyat tidak bertanggungjawab kepada kekuasaan
siapa pun, selain kekuasaan rakyat. Rakyat berhak membuat peraturan dan
undang-undang sendiri, karena mereka adalah pemilik kedaulatan melalui para
wakil rakyat yang mereka pilih. Rakyat berhak pula menerapkan peraturan dan
undang-undang yang telah mereka buat melalui para penguasa dan hakim yang
mereka pilih, dan keduanya mengambil alih kekuasaan dari rakyat, karena rakyat
adalah sumber kekuasaan.
Agar rakyat dapat menjadi penguasa
bagi dirinya sendiri serta dapat melaksanakan kedaulatan dan menjalankan
kehendaknya sendiri secara sempurna, baik dalam pembuatan undang-undang,
peraturan maupun pemilihan penguasa tanpa disertai tekanan atau paksaan, maka
kebebasan individu menjadi prinsip yang harus diwujudkan oleh demokrasi bagi
setiap individu rakyat. Dengan demikian, rakyat dapat mewujudkan kedaulatannya
dan melaksanakan kehendaknya sendiri sebebas-bebasnya tanpa tekanan atau
paksaan.
Demokrasi berlandaskan pada dua ide,
yaitu kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan. Kedua
ide tersebut dicetuskan oleh para filosof dan pemikir di Eropa ketika mereka
melawan para kaisar dan raja untuk menghapuskan ide hak ketuhanan
atas rakyat, dan hanya merekalah yang berhak membuat peraturan serta
menyelenggarakan pemerintahan dan peradilan. Raja adalah negara.
Sementara itu, rakyat dianggap
sebagai pihak yang harus diatur, dan dianggap tidak memiliki hak dalam
pembuatan peraturan, kekuasaan, peradilan, atau hak dalam apapun juga. Rakyat
berkedudukan sebagai budak yang tidak memiliki pendapat serta kehendak, dan
hanya berkewajiban untuk taat saja kepada penguasa ketika melaksanakan
perintah.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan
berdasarkan suara mayoritas. Anggota-anggota lembaga legislatif dipilih atas
dasar suara mayoritas pemilih dari kalangan rakyat. Oleh karena itu, suara
bulat (mayoritas) adalah ciri yang menonjol dalam sistem demokrasi. Pendapat
mayoritas menurut demokrasi merupakan tolok ukur hakiki yang akan
dapat mengungkapkan pendapat rakyat yang sebenarnya.
Dari penjelasan di atas, bisa
disimpulkan:
1.
Demokrasi adalah buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah SWT. Karenanya,
demokrasi tidak bersandar kepada wahyu dan tidak memiliki hubungan secara doktrinal
dengan Islam.
2.
Demokrasi berlandaskan dua ide, yaitu: kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat
sebagai sumber kekuasaan. Dalam Islam kedaulatan adalah pemilik syara’, bukan
milik rakyat. Sebagaimana al-Qur’an menegaskan:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul serta Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
(QS al-Nisa’/4:59).[7]
3.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota
dewan perwakilatn diselenggarakan berdasarkan suara mayoritas pemilih. Semua keputusan
dalam lembaga-lembaga tersebut diambil atas dasar pendapat mayoritas. Suara
mayoritas dalam Islam berbeda dengan dominasi mayoritas atau minoritas. Di
dalam Islam, suara mayoritas diambil untuk masalah-masalah yang belum
dijelaskan dalam al-Qur’an dan menyangkut urusan yang memerlukan langkah
segera. Misalnya Rasulullah saw bermusyawarah tentang strategi dalam menghadapi
musuh pada perang uhud. Beliau menetapkan kebijakannya atas dasar suara
terbanyak (mayoritas). Karena itu, suara mayoritas tidak ada hubungannya dengan
halal haram yang sudah qath’i (jelas) diungkapkan al-Qur’an dan Sunnah. Berbeda
dalam system demokrasi Barat, sesuatu yang sudah jelas haram (seperti khamr),
bisa berubah menjadi halal karena suara mayoritas menginginkannya. Sebagaimana
Amerika Serikat mencabut kembali Undang-undang Anti Minuman Keras atau The
Prohibition Law of America, karena rakyat Amerika telah terlanjur
gandrung terhadap minuman keras.[8]
4.
Demokrasi menyatakan adanya empat macam kebebasan:
-
Kebebasan beragama (Freedom of Religion);
-
Kebebasan berpendapat (Freedom of Speech);
-
Kebebasan kepemilikan (Freedom of Ownership);
-
Kebebasan bertingkah laku (Personal Freedom).
Kebebasan-kebebasan tersebut
diabsahkan dalam Islam selagi tidak melampaui batas, yakni selaras dengan
nilai-nilai etik yang dianut al-Qur’an dan Sunnah. Maka kebebasan tanpa batas
yang menuruti keinginan individu atau masyarakat tertentu, jelas bertentangan
dengan Islam.
Dengan agenda peradaban global,
demokrasi ternyata menjadi sosok yang aneh. Antara epistemologi (landasan),
ontologi (infrastruktur) dan aksiologi (manfaat/kegunaan), seolah tidak
berkesesuaian dengan kenyataan. Demokrasi sudah diplintir menjadi bagian yang
tak terpisahkan dari hegemoni kekuasaan global. Akhirnya, yang
menjadi kemudian adalah manipulasi demokrasi yang diperalatnya sebagai kedok neo-kolonialisme.
Negara-negara Barat menggunakan demokrasi sebagai alat untuk menekan
negara-negara berkembang, terutama negara Islam untuk tunduk kepada
keinginannya. Setidaknya, di balik hegemoni ini terdapat kepentingan ekonomis
untuk menguasai pasar global seluas-luasnya termasuk pasar
negara-negara berkembang.
Pada tahun 1949 UNESCO menyatakan,
“mungkin untuk kali pertama dalam sejarah, demokrasi disebut sebagai nama yang
paling baik dan wajar untuk semua sistem
organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang
berpengaruh”.[9]
Tidak hanya pemerintah, lembaga-lembaga swasta pun turut andil dalam
menyebarkan opini global tentang nilai-nilai demokrasi universal.
Keberadaan negara-negara Islam di
dunia saat ini menunjukkan fakta, bahwa model dan sistemnya mayoritas bukan
demokrasi. Berdasarkan rating indeks negara demokratis yang dibuat Freedom
House di Amerika Serikat untuk tahun 1997/1998, ternyata dari 48 negara-negara
Islam, hanya 8,7 persen yang digolongkan sebagai negara demokratis, 30 persen
semi demokratis, dan sebagian besarnya (60,9 persen) digolongkan sebagai negara
otoriter. Sedangkan negara-negara non muslim, 23,3 persen otoriter,
30,1 persen semi demokratis, dan 46,6 persen demokratis.[10]
Sebagai sistem negara, demokrasi
tidak bisa dipungkiri keberadaannya, apalagi untuk menutup mata terhadap
realitas tersebut. Kita tinggal memilih, demokrasi seperti apa yang hendak
diterapkan. Karena itu, demokrasi bisa diambil sebagai sebuah sistem politik
utuh dengan segala kelebihan dan kekurangannya, namun hanya sebatas tataran
pranata sosial politik saja. Dengan kata lain, yang paling urgen
dikedepankan adalah “nilai-nilai universal” yang mencakup al-‘adalah
(keadilan), al-musawah (persamaan) dan syura’
(musyawarah). Ketiga nilai tersebut merupakan bagian dari pesan-pesan moral
yang diungkapkan al-Qur’an dan Sunnah, yang kemudian dituangkan oleh Rasulullah
saw dalam dokumen tertulis, yaitu Piagam Madinah sebagai pijakan
prinsipal di dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sistem demokrasi memiliki sisi
positif di samping negatif. Di antara sisi positifnya adalah kedaulatan rakyat,
di mana rakyat mempunyai hak dan kewajiban yang berkaitan dengan pemilihan
majelis perwakilan, memilih, mengontrol dan atau memecatnya. Dari sisi ini,
demokrasi tidak bertentangan dengan Islam, karena Islam selalu memberikan
kebebasan seluas-luasnya kepada manusia dalam segala hal untuk menentukan sesuatu,
bukan saja memilih pemimpin, tetapi juga dalam memilih keyakinan dan
agama. Menyangkut perihal kebebasan memilih agama atau keyakinan
seseorang, al-Qur’an menegaskan:
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3t ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# w tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿx îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ
“Tidak ada paksaan untuk memeluk agama
(Islam). Sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan
jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada Thaghut[11]
dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali
yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha mengetahui ”.
(QS al-Baqarah/2:256).
Sedangkan sisi negatif dari
demokrasi yaitu “demokrasi Barat” yang menghalalkan segala cara demi
mencapai tujuan dengan dalih kedaulatan rakyat, sehingga tampak corak
kemunafikan dari konsep yang sebetulnya demokratis, namun realitasnya
mempraktikkan nilai-nilai kediktatoran dan otoritarian. Hal ini
jelas bertentangan dengan Islam.
Pemahaman terhadap demokrasi dengan
makna kedaulatan di tangan rakyat dalam sistem pemerintahan Barat, sering
ditemukan kerancuan dalam penerapannya. Mereka menyatakan melalui kampanyenya,
bahwa pemerintahan demokratik adalah pemerintah yang terdiri dari orang-orang
yang dipilih rakyat secara bebas, dan atas kehendak murni mereka menjadi
pemimpin yang melaksanakan aspirasi rakyat. Tetapi dalam implementasinya sangat
berbeda. Para penganut sistem demokrasi tersebut tidak segan-segan menggunakan
kekuatan militer membumihanguskan kota-kota dan desa-desa serta membunuh
penduduknya, dengan alasan bahwa penduduk itu menentang demokrasi. Contoh
kongkret yang dapat ditemui, yaitu kebijakan pemerintah Amerika Serikat di
bawah George W. Bush yang menghancurkan Irak, rezim Saddam Husein, karena
dipandang tidak demokratis. Kekuatan militer AS pun seringkali intervensi
terhadap keberadaan pemerintah negara lain yang cenderung menghalalkan segala
cara, sehingga korban-korban dari kalangan sipil yang tidak berdosa terus
berjatuhan. Dalam konteks ini, Amerika Serikat yang mengklaim sebagai pelopor
demokrasi, pada kenyataannya seringkali menampilkan tindakan-tindakan kekerasan
militeristik dengan kedok “menegakkan demokrasi”.
Islam menunjukkan aturan untuk
memberantas nilai-nilai negatif tersebut dengan mengemukakan konsep[12]
musyawarah dalam segala persoalan, seperti disebutkan dalam firman Allah:
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÑÈ
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarah di antara mereka; dan menginfakkan sebagian dari rezeki yang
Kami berikan kepada mereka”. (QS al-Syura/42:38).
Sistem musyawarah atau syura pada
dasarnya adalah menghormati aspirasi rakyat dan kedaulatannya, yaitu memilih
wakil-wakil mereka. Cara ini baru diadopsi berbagai bangsa setelah melalui
pengalaman berabad-abad lamanya. Konsep musyawarah yang berlandaskan ayat-ayat
al-Qur’an tersebut, telah dilaksanakan Rasulullah saw, yang sekaligus merupakan
suatu teladan yang diajarkan kepada para sahabat dan menjadi latihan untuk
dibudayakan dalam seluruh aspek kehidupan.
Ayat-ayat al-Qur’an tidak
menyebutkan bentuk musyawarah, baik menyangkut batasan, ruang lingkup, maupun
etikanya. Akan tetapi perintah bermusyawarah itu hanya digambarkan secara umum.
Hal ini menunjukkan, bahwa musyawarah merupakan sesuatu yang bisa berkembang
sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman, situasi serta kondisi.
Rasulullah saw sendiri tidak memberi petunjuk tegas atau penjelasan secara
rinci seputar pola dan tata cara bermusyawarah. Ini dapat dipahami bahwa
al-Qur’an memerintahkan agar permasalahan umat dibicarakan bersama, sementara
jika Rasul atau bersama para sahabat menetapkan sesuatu, hal tersebut berlaku
untuk masa beliau saja. Rasulullah saw telah memberi kebebasan kepada umatnya
agar mereka mengatur sendiri urusan duniawi, dengan sabdanya: “Kalian lebih
mengerti urusan dunia kalian”.[13]
Islam menganggap manusia sebagai
makhluk yang secara fundamental bersifat positif dan optimis, sementara pada
saat yang sama mempunyai keterbatasan-keterbatasan yang potensial. Al-Qur’an
dan Sunnah tidak menjelaskan bagaimana implementasi tuntunannya dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Untuk persoalan-persoalan yang rinci dan
praktis, manusia diberi kebebasan melakukan ijtihad. Dalam mekanisme
sosial-politik, ijtihad menghasilkan demokrasi.
Substansi
Demokrasi: Perspektif Piagam Madinah
Di dalam al-Qur’an dan Sunnah,
terdapat sejumlah prinsip dasar yang sebanding dengan prinsip-prinsip
demokrasi, antara lain: prinsip keadilan (al-‘adalah), musyawarah (syura) dan
persamaan atau egaliter (al-musawah). Pada praktiknya, prinsip-prinsip tersebut
menemukan bentuknya yang paling kongkret dan mungkin juga paling baik di masa
Rasulullah saw periode Madinah.[14]
Oleh banyak pihak, Piagam Madinah (mitsaq Madinah) dianggap sebagai ekspresi
perundang-undangan demokratis yang didasarkan pada prinsip-prinsip di atas.
Lahirnya Piagam Madinah berdasarkan konsensus antara Rasulullah saw dengan
berbagai suku dan kelompok, yang kemudian dikenal dengan Sahifah,
yakni suatu undang-undang dasar yang mengikat anggota masyarakat Madinah dengan
perjanjian. Karenanya, masyarakat Madinah sering disebut ‘masyarakat Sahifah’.[15]
Dari sini tergambar bahwa di dalam
Piagam Madinah termuat prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah kenegaraan serta
nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal umat manusia.[16]
Tegasnya, Piagam Madinah merupakan basic political principles
(prinsip-prinsip dasar politik) dalam menghadapi kemajemukan masyarakat
Madinah.[17]
Dengan demikian, Piagam Madinah yang dianggap sebagai common platform
kehidupan sosial politik komunitas Madinah waktu itu, dapat dinilai sebagai
dasar yang relatif demokratis.
Pembentukan masyarakat politik di
bawah Piagam Madinah adalah ide pokok Rasulullah saw dalam rangka
mengimplementasikan tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian
wewenang, yaitu adanya tatanan sosial dan politik yang tidak diperintah oleh
kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama, tidak oleh prinsip-prinsip ad
hoc[18]
yang dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin. Namun di sini
diperintah oleh prinsip-prinsip yang dilembagakan dalam dokumen konsensus dasar
semua anggota masyarakat, yaitu wujud konstitusi.
Heterogenitas masyarakat Madinah
waktu itu (ras, suku dan agama) dipersatukan di bawah kepemimpinan Rasulullah
saw, dan itulah yang dinamakan ummah. Memang konotasi kata ummah sering
dinisbatkan kepada komunitas muslim, tetapi dalam konteks ini istilah ummah
lebih bersifat umum dan berlaku bagi sebuah komunitas tanpa dibedakan dengan
nama agama. Menurut Barakat Ahmad, “… In the theory the use of the term
ummah during the major portion of the Apostle’s career was not restricted to
muslims alone” (Secara teoretis, penggunaan istilah ummah adalah selama
karir kerasulan dan tidak terbatas pada komunitas muslim saja).[19]
Karenanya, kata ummah dalam Piagam
Madinah dapat diinterpretasikan sebagai “negara” dengan mengacu kepada QS Ali
‘Imran/3:104 dan 158. Dalam ayat tersebut ummah identik dengan masyarakat yang
mengemban suatu fungsi tertentu, yaitu menyelenggarakan keumatan, dengan
menegakkan yang ma’ruf (adil; baik) dan mencegah yang mungkar (zhalim; tiran).
Di samping itu juga harus menyelenggarakan kepentingan umum melalui jalan
musyawarah. Dengan demikian, ummah yang diekspresikan dalam realitas sejarah
khususnya pada periode Madinah adalah ummatan wahidah (kesatuan
masyarakat). Maka masyarakat Madinah, walaupun beragam dengan segala hal, namun
mereka adalah umat yang satu. Orang-orang Yahudi menjadi satu ummah dengan
orang-orang Islam di bawah Piagam Madinah.
Rasulullah saw telah menyusun suatu
persetujuan untuk mendapatkan ketetapan-ketetapan yang disepakati bersama,
bukan mendirikan sebuah negara teologis. Dalam hal ini semua
kelompok agama dan kelompok suku diberikan otonomi untuk memelihara tradisi
serta kebiasaan mereka masing-masing. Dokumen Piagam Madinah telah memberikan
dua landasan. Pertama, menjamin otonomi bagi kelompok yang
beragam, kebebasan untuk memeluk agama dan melaksanakan adat istiadat, tradisi,
serta persamaan hak bagi semua orang. Kedua, menekankan pada sisi
demokrasi dan consensus, bukan pada pemaksaan kehendak.
Sebagai kepala negara, Rasulullah
saw senantiasa berpegang pada prinsip musyawarah sebagaimana telah digariskan
dalam al-Qur’an.[20]
Setiap keputusan yang beliau tetapkan selalu dimusyawarahkan terlebih dahulu
dengan para sahabat. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw tidak bertindak
otoriter dalam melaksanakan politik pemerintahan.
Musyawarah dapat diartikan sebagai
forum tukar-menukar pikiran, gagasan ataupun ide, termasuk saran-saran yang
diajukan dalam memecahkan suatu masalah sebelum tiba pada pengambilan
keputusan. Dilihat dari sudut kenegaraan, maka musyawarah adalah suatu prinsip
konstitusional[21]
yang wajib dilaksanakan dalam pemerintahan dengan tujuan untuk mencegah
lahirnya keputusan yang merugikan kepentingan umum atau rakyat. Sebagai suatu
prinsip konstitusional, musyawarah berfungsi sebagai “rem” atau
pencegah kekuasaan yang absolut dari seorang penguasa atau kepala negara.[22]
Suatu musyawarah dapat diakhiri
dengan kebulatan pendapat atau kesepakatan bersama (konsensus) yang lazim
disebut dalam hukum Islam sebagai ijma’, dan dapat pula diambil suatu keputusan
yang didasarkan pada suara terbanyak sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah
saw ketika menghadapi persoalan tentang serangan orang-orang Quraisy Mekkah
yang sedang mengepung Madinah (Perang Uhud). Ada dua pilihan, menghadapi musuh
secara ofensif atau defensif. Secara pribadi Rasulullah saw memilih pilihan
yang kedua, yaitu bertahan di kota Madinah. Namun suara terbanyak dari para
sahabat menginginkan supaya pasukan Madinah menyerang musuh di luar Madinah,
yaitu Bukit Uhud. Akhirnya keputusan diambil berdasarkan suaru terbanyak.[23]
Meskipun demikian, musyawarah
berbeda dengan demokrasi liberal yang berpegang dengan rumus “setengah
plus satu”, atau suara mayoritas yang lebih dari separo yang berakhir
dengan kekalahan suara bagi suatu pihak, dan kemenangan bagi pihak lain. Dalam
musyawarah yang dipentingkan adalah jiwa persaudaraan, sehingga yang menjadi
tujuan bukan mencapai kemenangan untuk suatu pihak atau golongan, tetapi bagi
kepentingan serta kemaslahatan umum dan rakyat.
Sedangkan dalam menjalani kehidupan sosial
yang majemuk di Madinah, Rasulullah saw dan umat Islam mengimplementasikan tiga
prinsip dasar yang selaras dengan petunjuk al-Qur’an. Pertama,
prinsip keadilan, yaitu suatu pegangan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan
tempatnya, obyektif dan tidak berat sebelah. Di bawah pimpinan Rasulullah saw,
umat Islam selalu merealisasikan hubungan dengan masyarakat non muslim tanpa
melihat label agama, sehingga berbagai kasus yang terjadi senantiasa ditangani
dengan hukum keadilan. Misalnya, kasus pencurian yang dilakukan Fatimah binti
Abi al-Asad (seorang anak pembesar) dari kepala suku, maka demi keadilan
Rasulullah saw menetapkan hukuman sesuai dengan perbuatan yang telah
dilakukannya. Hal ini dipertegas al-Qur’an, bahwa menegakkan keadilan tidak
hanya berlaku untuk sesama muslim saja, melainkan juga terhadap non muslim yang
tidak memusuhi serta memerangi Islam sebagai agama.[24]
Kedua, prinsip egalitarian, yaitu persamaan hak di antara masyarakat
yang beragama Islam (muslim) dan non muslim di dalam kehidupan sosial. Prinsip
persamaan dalam Islam dapat dipahami antara lain dari al-Qur’an:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
serta bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui dan Maha Mengenal”. (QS al-Hujurat/49:13).
Ayat tersebut menggambarkan bahwa
dalam Islam manusia memiliki kedudukan yang sama. Inilah yang disebut prinsip
persamaan sebagai “soko guru dari struktur sosial Islam”.[25]
Rasulullah saw juga menegaskan tentang prinsip persamaan. Ada dua sabda beliau
yang perlu diperhatikan dalam konteks ini. Pertama, ketika Rasul
menunaikan haji pada tahun 10 H (haj al-wada’), beliau menyampaikan pidato
perpisahan sebagai berikut:
“Sesungguhnya
leluhurmu adalah satu yaitu Adam. Karena itu tidak ada perbedaan antara orang
Arab dan bukan Arab, antar orang yang berkulit merah dengan yang berkulit
hitam, kecuali karena takwanya kepada Allah”. Kedua, penegasan
yang berbunyi: “Sesungguhnya manusia itu sama rata seperti gerigi sisir”.[26]
Kedua hadits tersebut menggambarkan
bahwa dalam Islam semua manusia adalah sama, dan tidak ada perbedaan atas dasar
apapun kecuali takwanya kepada Allah SWT. Prinsip persamaan ini mencakup dalam
segala bidang kehidupan: hukum, politik, ekonomi, sosial dan lain-lain.
Menyangkut persamaan di bidang hukum, semua orang mendapat jaminan perlakuan
dan perlindungan hukum yang sama tanpa memandang kedudukannya, apakah ia dari
kalangan rakyat biasa atau dari kelompok elit. Hal ini dipertegas Rasulullah
saw dalam sebuah hadits:
“Demi
Allah, seandainya Fatimah putriku mencuri, tetap akan kupotong tangannya”.
(Riwayat Abu Daud dan Nasa’i).
Salah satu contoh kongkret penerapan
prinsip persamaan di masa Rasulullah saw yaitu ketika seorang Yahudi menagih
hutang kepada Rasul dengan mengeluarkan perkataan yang tidak etis di hadapan
Kepala Negara Madinah. Para sahabat yang menyaksikan sudah tidak dapat menahan
emosi mereka, tetapi Rasulullah saw bersabda: “Biarkanlah ia bicara, karena
ia berhak untuk itu”.[27]
Peristiwa ini menunjukkan bahwa Rasul sebagai Kepala Negara Madinah memberikan
persamaan hak kepada orang Yahudi yang notabenenya adalah warga negara. Dengan
kata lain, setiap warga negara memiliki kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang
sama. Penyelenggara negara dilarang memperlakukan mereka dengan secara
diskriminatif.
Ketiga, prinsip
kebebasan. Prinsip ini sangat sentral di dalam ajaran Islam, sebab secara
esensial, Islam mengandung arti liberalition (bebas), berarti bebas dari
kenistaan, kejahatan, kezhaliman dan pemaksaan. Di masa Rasulullah saw, kaum
Yahudi dan Paganis diberi kebebasan untuk memeluk agama serta kepercayaannya
masing-masing. Hal ini selaras dengan pernyataan al-Qur’an:
“Tidak
ada paksaan memeluk agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara
jalan yang benar dengan jalan yang sesat …” (QS al-Baqarah/2:256).
Kebebasan memeluk agama, tertuang
dalam rumusan Piagam Madinah: “Bagi orang Yahudi, agama mereka dan bagi kaum muslimin
agama mereka pula”.[28]
Dari sini terlihat jelas, bahwa Piagam Madinah telah memberikan landasan yang
menjamin otonomi bagi kelompok yang beragama, yaitu kebebasan untuk memeluk
serta melaksanakan suatu agama. Di samping itu, prinsip kebebasan ini juga
menyangkut kebebasan berpendapat, yakni ketika mengajukan usul atau
mengeluarkan argumentasinya di kala musyawarah.
Substansi Piagam Madinah menegaskan
suatu cita-cita terciptanya tatanan masyarakat zaman Rasulullah saw yang Islami
dan sekaligus dapat menjadi tempat berlindung bagi umat lain dari
berbagai suku dan agama. Piagam tersebut menjadi contoh suatu sistem dan
konstitusi yang mewadahi masyarakat yang plural. Sangat beralasan bila
Montgomery Watt dan Robert N. Bellah memandang Piagam Madinah yang disusun
Rasulullah saw itu sebagai konstitusi termodern di zamannya.
Setidaknya ada dua nilai penting
yang dapat diambil dari Piagam Madinah menyangkut prinsip demokrasi, dan masih
relevan hingga saat ini. Pertama, peletakan prinsip integrasi social dan politik
dalam sebuah Negara Madinah. Ini merupakan nilai penting, mengingat masyarakat
Madinah saat itu bersifat majemuk. Kedua, dasar penghormatan yang kokoh bagi
sebuah kehidupan yang toleran dengan menjamin hak-hak warga negara non muslim
berupa perlindungan pada kehidupan dan harta benda mereka. Inilah sumbangan
terbesar Piagam Madinah yang kemudian diadopsi oleh kehidupan modern dalam
wujud “hak asasi manusia” (HAM).
Namun demikian, Piagam Madinah tidak
dapat dijadikan sebagai pembenar bagi pembentukan negara Islam, sebab Rasul
sendiri dalam piagam itu tidak menyebut negara yang didirikannya sebagai negara
Islam. Istilah “daulah Islamiyah” baru muncul saat Islam
berhadapan dengan konsep Barat yang disebut nation state. Oleh
karenanya, jika hendak dijadikan model, yang dapat diambil dari Piagam Madinah
adalah nilai-nilai penting yang ada di dalamnya.
Tafsir
Demokrasi: Konsepsi Tokoh-Tokoh Muslim
Di kalangan cendekiawan muslim
sendiri, pergulatan demokrasi cukup hangat didiskusikan. Paling tidak, ada tiga
kelompok besar yang mewakili umat Islam berkaitan dengan pandangannya terhadap
demokrasi. Pertama, kelompok konservatif, yaitu yang tetap
mempertahankan integrasi antara Islam dan negara, sebab menurut mereka, Islam
telah lengkap mengatur sistem kemasyarakatan. Kelompok ini terdiri dari: a)
tradisionalis, yakni mereka yang tetap mempertahankan tradisi praktik dan
pemikiran politik Islam klasik/pertengahan, seperti Rasyid Ridha, dan b)
“fundamentalis”,[29]
yakni mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial dengan kembali kepada
ajaran Islam secara total, serta menolak sistem yang dibuat manusia, seperti:
Sayyid Quthb, Abu al-A’la al-Maududi dan Hasan Turabi.[30]
Kedua, kelompok
modernis dan neo-modernis, yang berpendapat bahwa Islam mengatur masalah
keduniaan (kemasyarakatan) hanya secara dasar-dasarnya saja, adapun secara
teknis bisa mengadopsi sistem lain, yang dalam hal ini adalah sistem Barat yang
sudah menunjukkan kelebihannya. Di antara kelompok ini adalah Muhammad Abduh,
Husein Haikal dan Muhammad Assad.
Ketiga, kelompok
sekuler atau liberal, yang ingin memisahkan antara Islam dengan negara. Menurut
kelompok ini, Islam tidak mengatur masalah keduniaan sebagaimana praktik
kenegaraan yang terdapat di Barat. Di antara tokoh aliran ini adalah Ali Abd
al-Raziq dan Thaha Husein.[31]
Pada umumnya kelompok pertama
(konservatif) menolak sistem demokrasi, dengan alasan karena demokrasi yang
mengandung pengertian kedaulatan rakyat (siyadah al-ummah), berarti meniadakan
kedaulatan Tuhan.[32]
Kelompok ini diprakarsai oleh Sayyid Quthb dengan mengembangkan konsep tauhid
‘hakimiyah’ yang berarti penerimaan hanya hukum-hukum Allah semata yang harus
diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat dan negara.[33]
Namun Yusuf Qardhawy yang sebenarnya termasuk kelompok pertama, menerima sistem
demokrasi, karena substansi demokrasi sejalan dengan Islam. Beliau mengatakan,
hakikat demokrasi adalah bahwa rakyat memilih orang yang akan memerintah dan menata
persoalan mereka tanpa paksaan dan tidak boleh mereka dipaksa untuk menerima
penguasa atau rezim yang mereka benci. Oleh karena itu, mereka diberi hak untuk
mengoreksi penguasa bila ia keliru, diberi hak untuk mencabut dan menggantinya
jika ia menyimpang. Adapun proses memilih penguasa, dapat dilakukan dengan
berbagai bentuk dan cara praktis, seperti pemilihan umum dan referendum,[34]
mendukung pihak mayoritas, menerapkan sistem multi partai, memberikan hak
kepada minoritas untuk beroposisi, menjamin kebebasan pers dan kemandirian
keadilan.[35]
Sementara itu, al-Maududi mencoba
menawarkan istilah “theo-democracy”, karena menurutnya,
kedaulatan Tuhan maupun kedaulatan rakyat terdapat dalam negara yang
mempraktikkan syariat Islam, walaupun kedaulatan rakyat ini terbatas hanya pada
konteks penyelenggaraan negara serta urusan-urusan administratif dan hal-hal
lain yang tidak terdapat dalam syariah.[36]
Berdasarkan konsepsi tersebut, kedaulatan yang sesungguhnya berada pada Tuhan,
dan negara berfungsi sebagai kendaraan politik untuk menerapkan
hukum-hukum Tuhan.
Sejalan dengan al-Maududi,
Dhiyauddin Rais berpendapat bahwa di dalam Islam terdapat kedaulatan rakyat dan
kedaulatan hukum syariah sekaligus. Oleh karena itu, seandainya dibuat istilah,
sistem pemerintahan Islam dapat dikatakan sebagai sistem demokrasi humanis,
universal, religius, moralis, material dan spiritual.[37]
Sedangkan kelompok kedua (modernis/
neo-modernis), pada umumnya menerima sistem demokrasi, tetapi dengan beberapa
penyesuaian. Menurut kelompok ini, secara organisatoris memang tidak ada
persoalan, namun secara filosofis tentu mengandung persoalan, karena demokrasi
itu didasarkan pada sekularisme, sedangkan Islam sebuah agama
yang berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan. Adapun kelompok
ketiga (sekuler/liberal) tidak mempunyai persoalan dengan demokrasi, sebab baik
secara filosofis maupun secara organisatoris (institusional) mereka mendukung
sistem tersebut.
Secara teologis, penerimaan para
intelektual muslim terhadap demokrasi didasarkan pada ajaran-ajaran al-Qur’an
dan praktik historis masa Rasulullah saw serta al-Khulafa’ al-Rasyidun. Mereka
menyamakan konsep demokrasi dengan konsep syura, yang terdapat dalam QS
al-Syura/42:38 dan QS Ali ‘Imran/3:159.
Hemat penulis, membicarakan
demokrasi berdasarkan sudut pandang doktrinal Islam tidak akan bertemu. Namun
bila dilihat secara sosio-kultural, banyak nilai-nilai demokrasi yang tercakup
dalam Islam. Misalnya ajaran “hablun min Allah wa hablun min al-nas”,[38]
yaitu menjalin kmomunikasi vertikal dengan Allah, dan komunikasi khorizontal
dengan sesama umat manusia. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya
memerintahkan umatnya untuk berhubungan dengan Tuhannya semata, melainkan harus
juga mewujudkan proses kemanusiaan dengan sesamanya. Di samping itu, di dalam
Islam terkandung juga tentang prinsip-prinsip persamaan, kebebasan memeluk
agama, keadilan, musyawarah dan keorganisasian yang semuanya ini secara
substantif mencerminkan nilai-nilai demokrasi.
Penutup
Pada tataran etika dan teori, Islam
sangat menjunjung esensi dasar demokrasi, seperti penghargaan
terhadap kesederajatan manusia, kebebasan berpikir dan kemerdekaan individu.
Namun demikian, semua itu dibatasi oleh norma-norma agama yang termaktub dalam
al-Qur’an dan Sunnah. Suara demokrasi yang cenderung bebas tanpa batas serta
tidak mengindahkan nilai-nilai keagamaan adalah bentuk penyelewengan dan
bertentangan dengan ajaran Islam. Demokrasi bukan berarti kebebasan tanpa
batas, sebab manusia dalam hidupnya dibatasi oleh ruang dan waktu. Maka
konsekuensi logisnya, manusia harus berjalan sesuai dengan rambu-rambu
kehidupan yang mengikat dirinya, yaitu aturan suci dari Allah dan RasulNya.
Secara doktrinal, Islam dan
demokrasi adalah dua hal yang berbeda. Namun secara substantif ada prinsip-prinsip
demokrasi yang kompatibel (sesuai) dengan ajaran Islam. Prinsip keadilan dalam
penegakan hukum, persamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, serta kebebasan berpendapat, beragama dan berkeyakinan.
Prinsip-prinsip ini secara ideal tertuang dalam dokumen tertulis, yaitu Piagam
Madinah.
Rasulullah saw dalam praktik Negara
Madinah menunjukkan adanya kehidupan demokratis berdasarkan aturan wahyu Ilahi.
Itulah Demokrasi Transendental, yakni sebuah sistem pranata sosial
politik modern dalam kehidupan bernegara yang banyak diminati banyak orang.
Disebut transendental, karena kelangsungan sistem ini bukan berlandaskan
kepentingan dan kekuasaan manusia semata. Semua problematika kehidupan umat
manusia, tidak mungkin bisa diselesaikan dengan “kehendak” manusia sendiri.
Hanya dengan nilai-nilai dan ajaran Ketuhananlah berbagai kemaslahatan manusia
akan tercapai.
Umat Islam harus menjadi makhluk
yang berjalan dengan mata hati menghadap ke belakang, tetapi dengan mata fisik
menghadap ke depan. Dengan cara ini umat Islam akan selalu dapat menghadirkan
struktur Rasul sampai kapan pun. Sementara, fondasi dan pilar-pilar demokrasi
itu pada prinsipnya telah disediakan dalam Piagam Madinah sebagaimana tercermin
dalam pasal-pasalnya.
Piagam Madinah merupakan sebuah konsensus
bersama antara berbagai golongan, baik ras, suku maupun agama yang paling
demokratis sepanjang sejarah. Piagam Madinah telah mewariskan kepada
kita prinsip-prinsip yang kokoh dalam menegakkan masyarakat pluralistik yang harmonis.
Fakta sejarah menunjukkan, Negara Madinah menjadi contoh kongkret keserasian
hidup bernegara dan beragama. Dengan Piagam Madinah, Rasulullah saw telah
membuktikan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh umat manusia (rahmatan
li al-‘alamin). Pesan-pesan Islam pun dapat diterima oleh semua
kalangan, termasuk pemeluk Yahudi dan Nasrani, sehingga tercipta suatu tatanan
yang adil serta damai.
Negara Madinah tidak hanya
membuktikan bahwa Rasulullah saw seorang negarawan, legislator, penyeru moral, pembaharu,
ahli politik dan ekonomi; tetapi juga sekaligus mematahkan tuduhan Barat bahwa
Islam anti demokrasi. Sebab, sebelum negara demokrasi menemukan
bentuknya di Barat, Rasulullah saw justru telah meletakkan dasar-dasar
demokrasi yang sanggup menjawab kebutuhan bermasyarakat dan bernegara.
Sebagai sebuah produk peradaban, Piagam Madinah banyak memberi pelajaran
penting bagaimana umat beragama membangun suatu tatanan masyarakat yang adil
dan manusiawi, serta bagaimana umat manusia membangun sistem peradaban yang
tercerahkan dan memberi manfaat bagi semua orang. Ia menjadi aturan main agar
tercapai semacam etika kolektif bagi kehidupan bersama.
Demokrasi bukanlah jaminan sukses
hidup bernegara. Bahkan sebagai sebuah sistem, demokrasi memiliki tingkat relativitas
keberhasilan yang cukup riskan. Andaikan kita mau belajar demokrasi
dari Amerika Serikat, yang mengklaim diri sebagai kampium demokrasi,
ada baiknya merenungkan perkataan Stobe Talbolt dalam bukunya, Democracy and
the International Interest: “sejak terbentuknya negara federasi pada tahun
1776, AS memerlukan waktu 11 tahun untuk menyusun konstitusi; 89 tahun untuk
menghapus perbudakan, 144 tahun untuk memberi hak pilih pada kaum perempuan,
dan 188 tahun untuk menyusun draf konstitusi yang melindungi seluruh warganya”.
Sungguh sebuah sistem demokrasi materialis yang pembentukannya
butuh waktu panjang dan banyak uang.
Adalah ironis, jika umat Islam tidak
merasa bangga dengan prinsip-prinsip demokrasi yang dibangun Rasulullah saw di
Madinah. Lahirnya Piagam Madinah bukanlah sebuah utopia yang artificial,
atau latihan politis-teoretis. Ia telah memasuki sejarah tertulis sebagai
sebuah dokumen hukum yang diterapkan secara sistematis dan kongkret dari tahun
622 hingga 632 M.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah,
Masykuri, “Syura dan Demokrasi”, dalam Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001, Cet. ke-1.
Ahmad,
Barakat, Muhammad and The Jews, A. Re-Examination: New Delhi, 1979.
Budiardjo,
Miriam, Dasar-Dasar Politik Islam, Jakarta: Gramedia, 2004, Cet. ke-26.
Boisard,
Marcel A., Humanisme dalam Islam, terj., Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Departemen
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, Cet. ke-10.
El-Awa,
Mohammad S., Sistem Politik dalam Pemerintahan Islam, Surabaya: Bina
Ilmu, 1983.
Endra,
W. Surya, Kamus Politik, Surabaya: Study Group, 1979.
Esposito,
John L., dan James P. Piscatori, “Islam and Democraty”, dalam Middle
East Journal, Vol. VL nomor III,
1991.
Hadimulyo,
“Fundamentalisme Islam: Istilah yang dapat menyesatkan”, Ulumul Qur’an, 3, Vol. IV, 1993.
Haikal,
Muhammad Husien, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Pustaka Jaya dan Tintamas, 1982.
Hasbi,
Artani, Musyawarah dan Demokrasi, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet.
ke-1.
Huwaydi,
Fahmi, Al-Islam wa al-Dimuqrathiyyah, Kairo: Markaz al-Ahram, 1993.
Kerr,
Malcolm H., Islamic Reform: The political and Legal Theoris of Muhammad
Abduh and Rashid Ridha, Berkeley and
Los Angeles: University of California Press, 1966.
Madjid,
Nurcholis, “Agama dan Negara dalam Islam Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni” dalam Budhy Munawar-Rachman, ed.,
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah,
Jakarta: Paramadina, Cet. ke-1.
Maududi,
Abu al-A’la al, Islamic Law and Constitution, Lahore: Islamic
Publication Ltd., 1960.
-----------,
Khalifah dan Kerajaan, terj. Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan, 1984.
Merriam-Webster,
A., Webster’s Ninth Collegiate Dictionary, U.S.A. Merriam-Webster Inc., 1984.
Prasetyo,
Hendro, “Pancasila as an Islamic Ideology For Indonesian Muslim”, Studia
Islamika, Vol. 1, Nomor 1,
April-June, 1994.
Qardhawy,
Yusuf, Dr., Min Fiqh al-Daulah Fi al-Islam, terj. Fiqih Negara,
Jakarta: Robbani Press, Cet.
ke-1.
Rais,
Muhammad Dhiyauddin, Al-Nazhariyyat al-Siyasiyyah al-Islamiyyah, terj.
Teori Politik Islam, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001.
Shihab,
M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000, Cet. ke-1.
Sjadzali,
Munawir, H., M.A., Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1990, Cet.
ke-2.
Shoelhi,
Mohammad, Demokrasi Madinah: Model Demokrasi Cara Rasulullah, Jakarta: Republika, 2003, Cet. ke-1.
Sudjana,
Eggi, S.H., M.Si., Ham, Demokrasi dan Lingkungan Hidup Perspektif Islam, Bogor: As-Syahidah, 1998, Cet. ke-1.
Yamani,
Ahmad Zaki, Syariat Islam yang Abadi: Menjawab Tantangan Masa Kini, Bandung: al-Ma’arif, 1980.
Rasjidi,
H. M., Prof. Dr., Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution Tentang “Islam
Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya”, Jakarta: Bulan Bintang, 1989, Cet. ke-3.
[1] Dalam
bahasa Arab, istilah agama sering disebut dengan al-Din. Secara
konseptual, sesungguhnya perkataan agama dan al-din mengandung konotasi masing-masing
yang berbeda. Perkataan agama yang sudah lazim digunakan dalam bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Sanskerta yang memiliki konotasi yang sangat erat dengan
tradisi dalam agama Hindu dan Budha. Perkataan al-Din sebagaimana tercantum
dalam QS Ali Imran/3:19 dan al-Maidah/5:3, merupakan suatu konsep yang terdiri
dari dua komponen pokok pengaturan hubungan antara manusia dengan Allah, dan
antara manusia dengan manusia dalam suatu masyarakat atau Negara, bahkan
mungkin pula antar Negara serta antar manusia dengan lingkungan hidupnya.
Menurut Prof. Dr. H. M. Rasjidi, penggunaan kata agama sebagai terjemah dari
al-Din hanyalah sekedar untuk memudahkan kita berkomunikasi. Lihat M. Rasjidi, Koreksi
Terhadap Dr. Harun Nasution Tentang “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1989), Cet. ke-3, hlm. 15.
[7]
Perintah taat kepada Allah dan RasulNya bersifat mutlak tanpa syarat. Sedangkan
taat kepada ulil amri bersifat relatif. Ditegaskan dalam sebuah hadits: “Tidak
ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan terhadap Allah”. Dari segi
bahasa, kata uli adalah bentuk jamak dari waliy
yang berarti pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata
tersebut menunjukkan bahwa mereka itu banyak, sedangkan kata al-amr adalah
perintah atau urusan. Dengan demikian, uli amri ialah orang-orang yang berwenang mengurus urusan kaum muslimin.
Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan
kemasyarakatan. Ada yang berpendapat bahwa mereka adalah para
penguasa/pemerintah. Ada juga yang mengatakan, mereka itu adalah ulama, dan
pendapat lain menyatakan bahwa mereka adalah yang mewakili masyarakat dalam
berbagai kelompok dan profesinya. Perlu dicatat, kata al-amr berbentuk ma’rifah
atau definite. Ini menjadikan banyak ulama membatasi wewenang pemilik kekuasaan
itu hanya pada persoalan-persoalan kemasyarakatan, bukan
menyangkut akidah atau keagamaan murni. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,
(Jakarta: Lentera Hati, 2000), Cet. ke-1, hlm. 460-461.
[12]
Konsep ialah” rancangan, ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa
kongkret”. Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), Cet. ke-10, hlm. 519. Mengutip
pendapat Immanuel Kant (1724-1804 M), konsep yaitu “gambaran yang bersifat umum
atau abstrak dari sesuatu”. Dari definisi ini, dapat dirumuskan bahwa yang
dimaksud konsep adalah “esensi dari sesuatu”. Apabila dikaitkan dengan
musyawarah, berarti “esensi musyawarah”.
[14]
Muhammad ibn Ishaq (704-768 M) telah merekam Piagam Madinah dalam “Sirah
Rasul Allah”. Buku yang sangat berharga ini, kini tidak bisa dijumpai
lagi secara utuh. Kita hanya mengetahuinya melalui buku-buku lain yang
menyebutkan bahwa sumber rujukan adalah buku karya Ibn Ishaq. Piagam Madinah
jauh mendahului Konstitusi Amerika Serikat (1787) yang biasanya
dipandang sebagai konstitusi pertama di dunia, yang dipelopori “Declaration
of Human Rights” (5 Juli 1775). Ia juga mendahului Konstitusi
Prancis (1795) yang dipelopori Les droits de I’homme et du citoyem (Agustus
1789). Bahkan ia juga mendahului konvensi (konstitusi tertulis)
Inggris yang disebut Magna Charta (15 Juni 1215).
[21]
Mohammad S. el-Awa, Sistem Politik dalam Pemerintahan Islam, (Surabaya:
Bina Ilmu, 1983), hlm. 114-115. Lihat pula Malcolm H. Kerr, Islamic Reform:
The Political and Legal Theoris of Muhammad Abduh and Rashid Ridha,
(Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1966), hlm. 134.
Kerr mencatat, bahwa sekelompok muslim modern berpendapat, prinsip syura
(musyawarah) merupakan bentuk asli dari perwakilan atau pemerintahan
konstitusional dalam Islam.
[29]
Istilah
fundamentalis muncul pertama kali di kalangan para penganut Kristen Protestan
di Amerika Serikat, sekitar tahun 1910-an. Mereka ini merupakan bagian dari
fenomena response kalangan konservatif terhadap perkembangan teologi
liberal-modernisme dan gejala sekularisme. Gerakan ini ditandai dengan
terbitnya 12 buku kecil yang berjudul The Fundamentals: A Testimony of
the truth, yang sejak saat itu jutaan eksemplar buku-buku tersebut
disebarkan. Ada beberapa pokok pandangan doktrin yang terutama dalam gerakan
ini, yakni: pemahaman literal mengenai ketidak-keliruan Injil, sifat Ketuhanan
Kristus, kebangkitannya secara fisik, dan turunnya kembali ke dunia secara
fisik pula. Semua ini menegaskan tentang penolakan mereka terhadap pemahaman para
teolog modernis-liberal, yang menjelaskan pemahaman teologi mereka
sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan zaman modern. Adapun cirri-ciri dari gerakan fundamentalisme
ini terutama militansinya untuk membela dan mempertahankan keyakinan mereka.
Lihat Hadimulyo, “Fundamentalisme Islam: Istilah yang dapat menyesatkan”,
Ulumul Qur’an, 3, Vol. IV, 1993, hlm. 5.
0 komentar:
Posting Komentar