Ajaran Islam penuh dengan ajaran yang menentang kekerasan. Al Quran mengatakan di antaranya: “Janganlah membunuh jiwa yang Allah haramkan untuk membunuhnya, kecuali dengan alas an yang benar.” (QS. Al An’am: 151), selanjutnya “Bila seseorang menyelamatkan satu jiwa, ia seolah telah menyelamatkan seluruh manusia” (QS. Al Maidah: 32), “Berbuat kekacauan dan penindasan itu lebih kejam daripada pembunuhan” (QS. Al Baqarah: 191).
Kata teroris tampak sangat familiar di telinga masyarakat dunia, begitu juga di Indonesia. Tapi, yang sangat ironis adalah teroris (terorisme) sering kali dikaitkan dengan agama Islam. Padahal kata Islam mempunyai makna yang sangat unik, yang berarti kedamaian. Aksi teror yang dilakukan berupa serangan bom di daerah-daerah yang sudah menjadi target dengan dalih jihad fi sabilillah. Perlu digarisbawahi, kata jihad sendiri berarti berjuang dengan sungguh-sungguh untuk menegakkan atau mempertahankan agama Allah sesuai dengan garis perjuangan Rasul dan Al Quran. Kata jihad sering disalahpahami dengan kata ‘perang suci’, padahal istilah untuk kata perang ialah qital.
Terorisme dilakukan bukan hanya lewat serangkaian serangan bom, tapi apa saja yang bersifat ancaman dengan cara menciptakan ketakutan, kekejaman dan tindakan kejahatan. Terorisme itu suatu tindakan yang dilarang oleh semua agama. Agama manapun sangat menentang akan adanya terorisme, entah dengan motif apa saja tindakan ini dilakukan. Dan terorisme bisa dilakukan oleh siapa saja, individu seseorang, kelompok, bahkan negara.
Makna hakiki dari jihad adalah berjuang dan berusaha keras bagi pembaharuan dunia guna menjadikannya sebagai tempat yang damai bagi semua manusia. Jihad paling akbar bagi seorang muslim adalah perjuangan memperbaiki dirinya sendiri, perjuangan melawan nafsu diri dan godaan setan yang membawa kepada kejahatan. Bila kita melakukan perang melawan semua hal ini maka sesuai ajaran Islam, kita ini dianggap sebagai sedang berjihad dalam maknanya yang paling luhur. Membelanjakan harta bagi penyebaran agama menurut Islam adalah juga bentuk jihad. Menolong fakir miskin melalui sedekah adalah bentuk jihad lainnya.
Bentuk jihad yang lebih kecil ialah berperang dalam rangka membela diri. Sesuai ajaran Islam, umat muslim tidak diizinkan memaklumkan perang kepada musuh, betapa pun salahnya pandangan mereka. Keadaan yang mengizinkan umat muslim mengangkat senjata hanya jika musuh telah menyerang mereka dengan tujuan merampas nyawa, harta dan kehormatan mereka atau bermaksud memupus agama yang mereka anut. Hanya dalam situasi seperti itu saja umat muslim diperkenankan berperang membela diri dan tidak akan ada orang waras yang akan mempertanyakan hal tersebut. Yang menarik dalam hal ini ialah meski umat Muslim diberi hak untuk membela diri tetapi mereka tetap saja dianjurkan agar berupaya sekuat-kuatnya menciptakan kedamaian, bahkan di medan perang sekali pun. Harus dilakukan berbagai upaya agar perang bisa dihindari. Jika tidak berhasil, konflik hanya bisa dilanjutkan sepanjang penganiayaan masih saja berlangsung. Jika musuh Islam sudah meletakkan senjata maka umat muslim harus menghentikan perang mereka.
Terorisme mempunyai sejarah panjang di dunia, khususnya di Indonesia. Penyerangan terhadap Bung Karno terjadi di perguruan Cikini Jakarta dengan pelemparan granat pada tahun 1957, Bung Karno selamat tapi beberapa orang menjadi korban. Salahuddin Wahid mengatakan sepanjang Orde Baru banyak terjadi terorisme yang dilakukan oleh Negara. Misalnya petrus (penembakan misterius) oleh aparat keamanan terhadap sejumlah orang yang dianggap sebagai penjahat (tanpa melalui proses hukum). Pelanggaran HAM seperti kasus penculikan dan penghilangan orang oleh Kopassus (1997-1998), pembunuhan terhadap dukun santet di Jawa Timur.[1]
Pada tanggal 11 September 2001 terjadi penyerangan terhadap gedung WTC di Amerika. Amerika pun menjadi bengis dan mengumandangkan niatnya untuk memberantas terorisme internasional. Amerika tidak mau peduli mengenai latar belakang munculnya aksi terorisme itu sendiri. Dengan memainkan isu dan propaganda Amerika terus menekan dan menyerang negara-negara yang dianggap sebagai markas terorisme. “If you’re not wish us, you’re against us” (Jika Anda tidak turut serta dengan kami, Anda musuh kami), itulah propaganda yang disebarkan oleh Amerika. Terlebih Amerika selalu mengaitkan setiap tindakan anarkisme dengan gerakan Islam.
Berikut beberapa daftar serangan bom teror terhadap hotel-hotel di dunia sejak 2001 hingga 2009:[2]
- The New York Marriott World Trade Center Hotel dan Marriott Financial Center runtuh bersama WTC : 11 September 2001 .
- Ledakan bus di luar Sheraton Hotel di Karachi : 8 May 2002 .
- Marriott Hotel in Karachi menderita kerusakan ringan akibat ledakan bom mobil, berdekatan dengan Konsulat Amerika : 14 June 2002.
- Paradise Hotel in Mombasa diserang bom mobil : 28 November 2002.
- Marriott Hotel Jakarta diguncang bom mobil : 5 Agustus 2003.
- Marriott Hotel Islamabad menderita kerusakan parah ketika bom meledak di lobby hotel : 28 Oktober 2004.
- Serangan bom beruntun terhadap tiga hotel : Grand Hyatt, Radisson, Days Inn di Amman, Jordania : 9 November 2005.
- Serangan bunuh diri di lapangan parkir Marriott Hotel Islamabad : 26 Januari 2007.
- Marriott Hotel Islamabad diserang bom mobil : 20 September 2008.
[1] Salahuddin Wahid, dkk. “Terorisme & Konspirasi Anti-Islam”, Pustaka Al Kautsar, Jakarta: 2002 hlm 43
[2] http://umum.kompasiana.com/2009/07/20/daftar-lokasi-rawan-serangan-bom-teroris/
- Taj Mahal Hotel and the Oberoi Hotel of Mumbai diserang dan diduduki teroris : 26 dan 29 November 2008.
- Sebuah bom mobil meluluhlantakkan hotel mewah Pearl Continental Hotel Peshawar : 9 Juni 2009.
- Marriott Jakarta and Ritz-Carlton Jakarta dikejutkan oleh serangan bom di lobby hotel : 17 Juli 2009.
- Kedubes Filipina – Jakarta : 1 Agustus 2000
- Kedubes Malaysia – Jakarta : 27 Agustus 2000
- Gedung Bursa Efek – Jakarta : 13 September 2000
- Malam Natal 2000 - kota-kota Indonesia : 24 Desember 2000
- Plaza Atrium Senen – Jakarta :, 23 Sepetember 2001
- Restoran KFC – Makassar : 12 Oktober 2001
- Sekolah Australia – Jakarta : 06 Nopember 2001
- Malam Tahun Baru – Jakarta dan Palu : 01 Januari 2002
- Cafe – Bali dan Manado : 12 Oktober 2002
- Restoran Mc Donald – Makassar : 05 Desember 2002
- Mabes POLRI – Jakarta : 03 Februari 2003
- Bandara Cengkareng – Banten : 27 April 2003
- Hotel JW Marriott – Jakarta : 05 Agustus 2003
- Cafe – Palopo : 10 Januari 2004
- Kedubes Australia – Jakarta : 09 September 2004
- Gereja Immanuel – Palu : 12 Desember 2004
- Ambon : 21 Maret 2005
- Pamulang Tanggerang : 08 Juni 2005
- Cafe – Bali : 01 Oktober 2005
- Palu : 31 Desember 2005
- Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton – Jakarta : 17 Juli 2009
Ada beberapa motivasi mengapa terorisme muncul, yang pertama, karena alasan agama, yang kedua karena alasan ideologi, yang ketiga karena memperjuangkan kemerdekaan, yang keempat karena membebaskan diri dari ketidakadilan, yang kelima karena adanya kepentingan (politis).
Apa yang telah dikemukakan di atas, serangkaian aksi terorisme mempunyai motif yang berbeda-beda dalam pelaksanaannya. Bahkan adanya keterlibatan (dalang) dari aksi terorisme itu, tak lain untuk menghegemoni dunia. Pada awal tahun 2003, CIA mengeluarkan sebuah laporan berisi prediksi tentang global trend tahun 2020, setidaknya ada empat skenario yang diprediksi akan menjadi tren global. Skenario pertama bercerita mengenai prediksi CIA tentang kekuatan Cina dan India terutama pada pasar dunia. Prediksi kedua, CIA masih mencantumkan kalimat Pax Americana sebagai kemungkinan tren global. Prediksi ketiga, menyebutkan ada kemungkinan besar lahirnya New Caliphate atau Khalifah Islam baru, gerakan ini menurut CIA akan diusung oleh para penganut Islam radikal. Prediksi keempat, kemungkinan teror yang akan terus berlanjut. [2]
Seseorang atau bahkan negara sewaktu-waktu bisa saja melakukan tindakan terorisme. Jika nama Al Qaidah pimpinan Usamah bin Ladain begitu populer di seantero dunia setelah terjadi tragedi 11 September 2001, maka nama kelompok Jama’ah Islamiyah (JI) yang dianggap sebagai cabang Al Qaidah di Asia Tenggara, khususnya Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia menjadi populer setelah tragedi 12 Oktober 2002 di Legian, Bali. Sehari setelah terjadi tragedi 12 Oktober, penguasa Australia sudah dapat memastikan bahwa pelakunya adalah kelompok JI. Padahal, aparat keamanan yang bekerja di lapangan masih belum menemukan bukti-bukti otentik.[3]
Di sini, seolah-olah Australia sudah mengetahui peristiwa itu sebelum terjadi, dan terkesan adanya rekayasa di balik peristiwa itu. Jadi, terorisme bukan hanya dilatarbelakangi karena urusan jihad, tapi juga karena urusan kepentingan-kepentingan politis. Bisa saja suatu negara membentuk bahkan mendanai suatu kelompok yang berkedok religius dengan dalih memperjuangkan agama dengan cara menyerang suatu wilayah dan menguasainya.
0 komentar:
Posting Komentar