SAKRALNYA SANG SAKA MERAH PUTIH
Peristiwa besar 10
November 1945 merupakan bukti otentik, bahwa kesakralan sang saka merah putih
akan terus diperjuangkan oleh bangsa Indonesia hingga titik darah penghabisan. Ya,
bendera merupakan sebuah lambang untuk menunjukkan suatu identitas. Insiden
“bendera” pada 10 November 1945 bukanlah sekedar insiden biasa. Kisah heroik
arek-arek Suroboyo dan Bung Tomo meninggalkan sebuah pesan, bahwa merah putih
merupakan simbol kedaulatan Indonesia serta bentuk sebenar-benarnya bagi
kemerdekaan bangsa Indonesia atas kolonialisme.
Namun dewasa ini,
arti kesakralan sang saka merah putih mengalami pergeseran akan maksud dan
tujuannya. Jika sakral sang saka merah putih dahulu kala diartikan
dengan,betapa berharganya sang saka merah putih sebagai simbol kemerdekaan
bangsa Indonesia. Sementara sekarang, kesakralan lebih mengarah kepada
“dikeramatkan” layaknya barang-barang kuno yang berbau mistik yang hanya
dikeluarkan pada waktu-waktu tertentu.
Lihatlah fenomena “bendera”
selain sang saka merah putih yang saat ini amat sering berkibar tak mengenal
tempat dan waktu. Bendera partai politik, bendera ormas-ormas, bahkan yang
lebih ironis lagi yakni, bendera asing yang berkibar di bumi pertiwi ini.
Apakah sang saka merah putih saat ini hanya ada ketika upacara bendera saja?
Ataukah bendera partai politik lebih trend dengan warna-warnanya yang cerah
ketimbang warna merah dan putih? Sehingga bendera merah putih tidaklah terlihat
di sekertariat-sekertariat partai politik.
Hal ini jelas menunjukkan
kecintaan terhadap sang saka merah putih makin lama semakin tenggelam dan bias
oleh waktu. Sang saka merah putih layaknya “kris” keramat yang dikeluarkan,
dibersihkan, serta diupacarakan pada waktu-waktu tertentu. Kasus yang lebih
miris lagi ialah, terjadi pada saat hari-hari peringatan kebangsaan yang
seharusnya membuat sang saka merah putih berkibar di seluruh penjuru Indonesia,
justru kalah banyaknya dengan bendera partai-partai politik yang ada pada
setiap daerah. Seperti yang terlihat di pinggiran jalan Ciputat, dimulai dari
kampus Uin Syarif Hidayatullah Jakarta hingga pasar Ciputat, disesaki oleh
bendera partai politik di hari pahlawan kemarin.
Apakah bendera
kebangsaan, hari ini telah berganti? Ataukah para politikus, hari ini telah
menyandang gelar kepahlawanan dengan segala fenomena korupsi, kolusi dan
nepotisme yang terjadi di negeri ini?. Nampaknya lagu kebyar-kebyar ciptaan
alm. Gombloh layak dijadikan renungan bagi kita untuk selalu menjaga
nilai-nilai sang saka merah putih. Semangat Bung Tomo dan arek-arek Suroboyo
dalam mempertahankan warna merah dan putih janganlah hanya terdapat di dalam
buku sejarah saja. Namun, dipertahankan dan diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari dalam berbangsa dan bernegara. Kibarkan sang saka merah putih di
bumi pertiwi dan di dalam sanubari bangsa Indonesia.
#Azami Sparrow
0 komentar:
Posting Komentar