Senin, 03 Februari 2014

SAKRALNYA SANG SAKA MERAH PUTIH


            Peristiwa besar 10 November 1945 merupakan bukti otentik, bahwa kesakralan sang saka merah putih akan terus diperjuangkan oleh bangsa Indonesia hingga titik darah penghabisan. Ya, bendera merupakan sebuah lambang untuk menunjukkan suatu identitas. Insiden “bendera” pada 10 November 1945 bukanlah sekedar insiden biasa. Kisah heroik arek-arek Suroboyo dan Bung Tomo meninggalkan sebuah pesan, bahwa merah putih merupakan simbol kedaulatan Indonesia serta bentuk sebenar-benarnya bagi kemerdekaan bangsa Indonesia atas kolonialisme.
            Namun dewasa ini, arti kesakralan sang saka merah putih mengalami pergeseran akan maksud dan tujuannya. Jika sakral sang saka merah putih dahulu kala diartikan dengan,betapa berharganya sang saka merah putih sebagai simbol kemerdekaan bangsa Indonesia. Sementara sekarang, kesakralan lebih mengarah kepada “dikeramatkan” layaknya barang-barang kuno yang berbau mistik yang hanya dikeluarkan pada waktu-waktu tertentu.
            Lihatlah fenomena “bendera” selain sang saka merah putih yang saat ini amat sering berkibar tak mengenal tempat dan waktu. Bendera partai politik, bendera ormas-ormas, bahkan yang lebih ironis lagi yakni, bendera asing yang berkibar di bumi pertiwi ini. Apakah sang saka merah putih saat ini hanya ada ketika upacara bendera saja? Ataukah bendera partai politik lebih trend dengan warna-warnanya yang cerah ketimbang warna merah dan putih? Sehingga bendera merah putih tidaklah terlihat di sekertariat-sekertariat partai politik.
            Hal ini jelas menunjukkan kecintaan terhadap sang saka merah putih makin lama semakin tenggelam dan bias oleh waktu. Sang saka merah putih layaknya “kris” keramat yang dikeluarkan, dibersihkan, serta diupacarakan pada waktu-waktu tertentu. Kasus yang lebih miris lagi ialah, terjadi pada saat hari-hari peringatan kebangsaan yang seharusnya membuat sang saka merah putih berkibar di seluruh penjuru Indonesia, justru kalah banyaknya dengan bendera partai-partai politik yang ada pada setiap daerah. Seperti yang terlihat di pinggiran jalan Ciputat, dimulai dari kampus Uin Syarif Hidayatullah Jakarta hingga pasar Ciputat, disesaki oleh bendera partai politik di hari pahlawan kemarin.
            Apakah bendera kebangsaan, hari ini telah berganti? Ataukah para politikus, hari ini telah menyandang gelar kepahlawanan dengan segala fenomena korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi di negeri ini?. Nampaknya lagu kebyar-kebyar ciptaan alm. Gombloh layak dijadikan renungan bagi kita untuk selalu menjaga nilai-nilai sang saka merah putih. Semangat Bung Tomo dan arek-arek Suroboyo dalam mempertahankan warna merah dan putih janganlah hanya terdapat di dalam buku sejarah saja. Namun, dipertahankan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam berbangsa dan bernegara. Kibarkan sang saka merah putih di bumi pertiwi dan di dalam sanubari bangsa Indonesia.
#Azami Sparrow

           
           
            

0 komentar:

Posting Komentar