Rabu, 30 Desember 2009

Rabithah Alawiyah dan Status Sosial Alawiyin di Batavia


-->
Gambar dari: www.rabithah-alawiyah.org

Di Indonesia, khususnya di ibu kota Jakarta, banyak terdapat Majlis Dzikir yang dibina oleh para ulama keturunan Ali Ibn Abi Thalib atau yang lebih dikenal dengan sebutan habaib (kata plural dari habib). Banyaknya majlis dzikir yang berkembang di wilayah Jakarta bisa kita fahami sebagai gejala sosial perkotaan di mana dalam lapisan masyarakat secara psikologis mengalami kejenuhan tersendiri dalam merespon modernitas di kota-kota besar, termasuk Jakarta.
Selain itu juga, faktor kultural masyarakat Betawi sangat berpengaruh kuat dalam berkembangnya majlis dzikir di Jakarta, di mana masyarakat betawi sangat menghargai dan menghormati habib sebagai guru agama Islam. Ini bisa ditelusuri jauh pada masa kolonial. Di mana pada masa tersebut para guru agama yang berasal dari Arab dan sekaligus keturunan Nabi Muhammad melakukan kegiatan dakwah keislaman kepada masyarakat Betawi. Sayyid Utsman Ibn Yahya misalnya merupakan golongan sayyid yang terpandang di Batavia pada pertengahan abad ke XIX hingga awal abad ke XX dan diangkat sebagai Mufti Batavia sekaligus Adviseur Honorair. Tentunya banyaknya para peziarah di makam-makam habib seperti di Kwitang membuktikan masih eratnya hubungan habib dengan masyarakat Betawi.
Sebagai sebuah komunitas, masyarakat keturunan Arab sudah sejak lama bermukim di wilayah Batavia (nama Jakarta tempo dulu). Setidaknya selain bertujuan dakwah Islam, migrasi komunitas Arab ke Batavia juga mempunyai motif ekonomi untuk melebarkan jaringan perdagangan. Wajar jika sepak terjang komunitas Arab baik di ranah sosial keagamaan ataupun ekonomi sangat diperhitungkan pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Komunitas Arab dan Politik Kolonial
Kekhawatiran pemerintah kolonial Belanda dalam ranah ekonomi dapat kita lihat karena misi kolonial Belanda adalah mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia untuk kepentingan kerajaan Belanda. Sehingga munculnya komunitas Arab (bahkan Cina), secara ekonomi menjadi ancaman pemerintah kolonial. Sehingga pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengangkat ‘Kapiten’ sebagai pemimpin komunitas Arab di berbagai wilayah kekuasaannya di Hindia Belanda. Fungsi Kapiten ini di antaranya sebagai kepanjangan tangan pemerintah kolonial untuk menarik pajak dari komunitas Arab.
Adapun dalam ranah sosial keagamaan, kolonial Hindia Belanda tidak ingin peristiwa Perang Aceh, kembali terulang di berbagai sudut kekuasaannya. Terutama setelah Snouck Hurgronje setelah meneliti kondisi sosial Aceh berkesimpulan bahwa perang tersebut terjadi dan terus bertahan sekian lama disebabkan bersatunya ulama (guru agama) dengan umara (pemimpin kerajaan). Sehingga pemerintah kolonial menetapkan politik Islam, di mana pemerintah Hindia Belanda menghendaki Islam hanya menggurusi masalah-masalah ritual keagamaan tanpa melakukan gerakan sosial yang dapat mengancam pemerintahan kolonial. Untuk melancarkan politik Islam, kolonial Hindia Belanda menggunakan praktek de vide et impera, politik adu domba.
Kebangkitan Komunitas Arab dan Infiltrasi Kolonial
Pembaharuan yang terjadi di belahan dunia Arab, terutama di Mesir, merambah hingga kalangan intelektual Arab yang ada di Batavia. Kebangkitan komunitas Arab ditandai dengan berdirinya JamiatKhair pada tahun 1901 (mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905).
Jamiat Khair menjadi pelopor organisasi modern pada komunitas Arab maupun muslim secara umum. Bidang pendidikan menjadi kegiatan yang sangat diperhatikan oleh Jamiat Khair. Organisasi ini menggabungkan antara pelajaran agama dengan kurikulum umum seperti berhitung, sejarah, dan ilmu bumi. Wajar jika berdirinya Jamiat Khair merupakan awal dari kebangkitan komunitas Arab di Batavia bahkan di Indonesia.
Organisasi ini semakin maju dengan datangnya Ahmad Soorkati yang merupakan penghubung masuknya ide-ide reformasi Islam pada siswa Jamiat Khair. Namun ide-ide Ahmad Soorkati yang mengusung egaliterian dalam komunitas Arab di anggap mengancam status sosial Habib. Pertentangan ini memunculkan konflik antara golongan Sayyid dan non Sayyid. Sehingga Ahmad Soorkati lebih memilih mengundurkan diri dari Jamiat Khair dan mendirikan Al-Irsyad pada tahun 1911, sedangkan golongan Sayyid mendirikan Rabithah Awaliyah untuk mempertahankan status sosialnya.
Yang menarik adalah pendapat Al-Mashur yang mengutip Huub De Jonge yang menyebutkan bahwa konflik yang melatarbelakangi keluarnya Ahmad Soorkati dari Jamiat Khair merupakan konspirasi koloniial Belanda yang diatur oleh Umar Manggus dan Rinkes. Dalam tahap ini dapat kita simpulkan bahwa, pertentangan internal komunitas Arab di Batavia merupakan infiltrasi pemerintah kolonial Belanda dalam menerapkan politik Islam yang diusung Snouck Hurgronje. Dimana para Sayyid dikondisikan sedemikian rupa oleh tangan-tangan kolonial agar Islam hanya melakukan ritual tanpa memperhatikan realitas sosial.
Mempertanyakan Posisi Habib Pasca Kolonial
Menilik latar belakang terjadinya konflik internal pada kalangan komunitas Arab antara sayyid dan non-sayyid, setidaknya kita tidak hanya melihat fenomena ini dari satu sisi. Karena apa yang trerjadi saat ini merupakan satu kesatuan utuh yang terhubung melalui benang-merah sejarah. Islam adalah agama rahmat semesta, maka saatnya kita memutus politik Islam kolonial. Ajaran agama tidak semestinya hanya mengajarkan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan, melainkan juga tidak melepaskan hubungan horizontal sesama manusia.

Rujukan :
Karel A Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang 1984).
L.W.C. van den Berg, (Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, (Jakarta: INIS, 1989).
Al Masyhur, Idris Alwi, Jamiat Khair Sejarah dan Perkembangannnya, (Jakarta: T.pn.,tt)
Aqib Soeminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1989)
Sayyid Alwi Ibn Thahir al Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, (Jakarta: PT Leentera Basritama, 2001)
Hamid Al Gadri, C Snouck Hurgronje: Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984)

0 komentar:

Posting Komentar