Jumat, 19 Maret 2010

KOMUNITAS SASTRA SEBAGAI BASIS PERLAWANAN**

oleh: Yonathan Rahardjo*


Perlawanan apa? Apa yang dilawan dalam sastra? Apa esensi komunitas sastra? Dalam berbagai komunitas sastra dapat dijumpai berbagai pola dan gaya para pelakunya. Semua mempunyai idealisme sendiri-sendiri. Masing-masing mempunyai cara pandang beda dalam menafsirkan apa itu komunitas sastra. Bahwa sastra merupakan penyuara kejujuran adalah sebuah pijakan kuat, identik dengan bagaimana sastra sendiri mampu mengeksplor habis-habisan esensi-esensi yang ada tanpa takut lagi akan kebobrokan-kebobrokan yang ada pada diri manusia.

Untuk memilah-milah peringai, sifat, sikap dan semua kejiwaan manusia itu dapat dibilang analog dengan penyikapan setiap jiwa laksana idiom-idiom, atau metafora atau kiasan dari kisah-kisah di rimba raya yang ada begitu banyak binatangnya. Macam Novel Animal Farm karya George Orwell yang ditujukan untuk mengkritik perilaku pemerintah
diktator bejat, semua hewan mempunyai sikap dan sifat sendiri-macam.

Bahkan, dalam kitab suci pun manusia banyak dikiaskan dengan sifat-sifat yang ada pada diri hewan ini. Bahkan ketika ada orang kerasukan roh jahat, bisa jadi dia kemasukan roh anjing, harimau, ular, kalajengking dan lain-lain yang terwujud dalam sikap masing masing. Meski, pada keyakinan tertentu semua roh perasuk itu tak lebih dari roh jahat, yang dapat menyilih rupa menjadi hewan-hewan macam itu. Tak ada salahnya untuk membelejeti sikap-sikap manusia dalam sastra kekuatannya menjadi begitu berlipat, dibanding laporan jurnalistik.

Sebuah pengalaman jurnalistik, ketika seorang wartawan menuliskan peristiwa korupsi yang melibatkan anak buah Menteri tertentu yang merupakan utusan partai tertentu dalam penggunaan Rapid Test untuk Flu Burung, di majalahnya tulisan itu dicoret oleh pemimpin redaksinya. Demikian pula saat ia banyak menuliskan tentang borok-borok pengelola flu burung, tak dapat begitu dieksplor total dalam tulisan jurnalistik. Maka, jalan keluarnya adalah sastra.

Itulah mengapa kita memahami mengapa Seno Gumira Ajidarma mengatakan ketika jurnalistik buntu, sastra lah yang berbicara. Itulah ujung dari pengalaman dia sebagai wartawan di Timtim pada masa pra kemerdekaan Timor Lorosae itu yang bersengketa dengan NKRI. Ia tuliskan dalam sastranya.

Dalam dunia sastra tingkat komunitas pun semestinya begitu. Jalan keluar dari setiap problem yang dikritisi dan terjadi dalam komunitas pun selayaknya selihainya ditulis dalam bahasa sastra. Sebab di sastralah setiap pegiat komunitasnya berpijak. Semua berpijak pada tulisan sastra dalam tingkatan komunitas berbasis Sastra. Kalaulah ada yang merasa terkena sengat di tulisan sastra itu, apa boleh buat, semua orang boleh merasa tersengat dan terkena, bahkan penulisnya pun juga. Manalah ada orang yang sempurna.

Begitu citra diri dijaga, itu sangat berbahaya bagi penulisnya sendiri, karena ia laksana menjaga biografi. Sedangkan, penulis biografi pastilah selalu tertekan untuk tidak menulis yang jelek-jelek tentang yang ditulisnya. Lebih-lebih tokoh masih hidup yang dituliskan riwayatnya dalam biografi itu. Maka di situlah sebenarnya basis perlawanan sastra; mengapa harus takut terbongkar kejelekan-kejelekan kita, kejelekan para pelaku dan situasi terkait dalam tulisan sastra; toh masing-masing bukan malaikat, tapi manusia yang penuh sisi gelap meski sebetulnya banyak pula sisi baik terutama yang tampak di mata.

Itulah makna kejujuran dalam komunitas sastra. Dan, di sini lah titik awal sebuah perlawanan yang ditumbuhsuburkan dalam sebuah komunitas berbasis sastra. Dan, perlawanan yang dihadapi dalam hal ini, tak Cuma dalam skala sungai. Namun, seluas samudera. Samudera di sini pun samudera yang terbatas, lalu berlanjut samudera kehidupan yang tak terbatas, terutama dalam menegakkan kehidupan melawan penindasan-penindasan. Karena setiap komunitas berbasis sastra, semestinyalah merupakan komunitas yang berbasis semangat anti penindasan dalam segala bentuknya.

'Sebuah Penyakit': Dunia Ide dan Praksis Komunitas Sastra

Dalam ilmu komunikasi, katanya, kejujuran orang adalah apa yang sesungguhnya tidak diungkapkan. Sering orang mengaku tidak ingin punya nama, namun sebetulnya itulah yang diinginkan. Sering orang mengaku bekerja tanpa pamrih dan tidak banyak suara dan cakap serta gembar-gembor, dengan mengaku bekerja tanpa pamrih, namun sayangnya kadang tempatnya tidak tepat ketika wilayah dan di ranah adalah wilayah idea, tulisan dan sastra yang membutuhkan tulis-menulis dalam suatu dialog.

Maka menjadi susah di sini wilayahnya mau bicara komunikasi atau bicara sastra yang mempertemukan orang satu sama lain berdasar idea, baik lewat email, milis maupun ym, di mana pada era internet ini semua rata-rata dipertemukan dengan media elektronik ini. Untuk mengatakan orang tak gembar-gembor dengan idea yang diwacanakan maupun tindakan praksis yang dilakukan sering mengalami kesulitan untuk memilah dan menilai dengan kebeningan hati sesungguhnya bagaimana esensi masing-masing perbuatan, pengakuan dan seidealnya harapan yang diberlakukan.

Mungkin orang mengatakan tidak ingin pamrih dan bekerja tanpa banyak cakap dan cari nama, namun dari tindakannya ternyata ia benar-benar mencari nama, bahkan dengan pendekatan-pendekatan pada orang-porang terkenal dan menungganginya sebagai kawan dekat sehingga ikut terangkat, lalu dia mengatakan aku akan maju karyaku, bukan hanya karena pertemanan denganmu. Namun apa yang sesungguhnya ada pada diri orang itu, sebetulnya hanya ia, iblis dan malaikat saja yang tahu. Lalu bergeser ke wilayah idea, sastra yang membutuhkan dialog dan pertukaran bahkan pertengkaran wacana, sesungguhnyalah bila suatu saat yang bersangkutan diam berarti dia bisa mempunyai sikap dan langkah macam-macam.

Mungkin diam mendengarkan namun mempunyai taktik atau strategi lain untuk membelokkan pembicaraan dan kesepakatan menjadi sesuai kehendaknya sendiri, atau diam karena tidak menganggap pembicaraan, atau diam memang emas dalam arti lebih penting pemasaran daripada suara-suara miring. Ada saling tumpang tindih di sini, ada saling klaim yang masing-masing menjurus kepada pembenaran diri sendiri.
Dalam ranah sastra hal ini tidak jarang terjadi bahkan sudah jamak terjadi klaim-klaim yang sebetulnya berujung pada pembenaran diri sendiri.

Masing-masing bisa dilihat dari track record yang bersangkutan. Ketika statistik sudah membuktikan jejak-jejak masa lalu, maka bisanya akan dapat diuji secara kuantiti dibanding secara kualiti. Tenaga yang demikian acap menggembosi semangat berkarya, dari tujuannya bersastra untuk pencerahan menjadi ilmu-ilmu cari muka. Roh untuk bersastra tentu ada pada orang-orang yang bersastra dan berorganisasi... dua hal yang sangat tumpang tindik untuk dua dunia yang berbeda yaitu dunia ide dan dunia praksis. Praksis sastra sudah tentu lain dari praksis komunikasi atau ilmu jual citra. Itulah yang senyatanya terjadi di dunia komunitas sastra. Waspadai hal ini, agar semakin teruji
komunitas sastra sungguh-sungguh merupakan basis perjuangan.


*Penulis Novel LANANG, Pemenang Lomba Novel, Dewan Kesenian Jakarta 2006

** Pernah dimuat di Koran Merdeka


0 komentar:

Posting Komentar